26.Kampung Halaman

178 16 0
                                    

Adam menapaki jalan perkampungan, melewati rumah-rumah penduduk, dengan penghuni ramah-ramah mendominasi tutur kata mereka, sapaan kian bersahutan dari bibir mereka, menyambut kedatangan Adam, Kampung kecil dengan mayoritas penduduk sebagai petani dan pekebun, mengisahkan cerita indah dengan Alam yang membentang, menghirup udara sejuk tiap hari, hawa panas tak terlalu menyengat menampar kulit Adam.

Malum bagian dunia yang dihuni Adam adalah daerah perkampungan dengan bentang dan benteng Alam perbukitan mengitari kawasan tanah kelahirannya.

Ketika berjalan, pandangannya teralihkan kang jaya yang sedang membawa cangkul di pundak kanannya.

Sontak langkahnya terhenti menatap lelaki paruh baya yang mulai di guyur peluh, ia mengenakan baju lusuh lengan panjang warna merah, tanpa beralas kaki dan membawa beberapa jerigen air minum di tangan kiri untuk menghilangkan dahaganya ketika di persawahan.

Ingatan Adam terekam soal mang jaya, ia adalah orang yang sering menggendong Adam di pundaknya semasa kecil, apalagi ketika Ayah Rohman sudah  alamarhum, dia begitu baik pada Adam.

Merasakan masa kecil menjadi Anak yatim, membuat beberapa orang terdorong hatinya, meluapkan kasih sayang untuk anak kecil yang Ayahnya telah tiada. 
Ia ingat!, mang Jaya yang pernah membelikan satu bungkus cimol untuknya, ketika itu Adam hanya menatap teman-temannya melahap tepung kanji goreng renyah kenyal itu, Adam kecil hanya bisa menelan liur di sela mulutnya.
Waktu itu Mang Jaya bak malaikat datang dari kayangan membawa sebungkus cilok dengan tusukan lidi, cabai tabur dan penyedap masakan sebagai bumbu perasanya.

Adam bertautan dengannya hanya berucap kata singkat untuk menyapa dan bersilaturahmi.

Asalamualaikum mang”
Tutur Adam bersalaman.

“Waalakumsalam”
Jawabnya dengan ramah.

Ketika Adam menjulurkan kedua tangan di hadapannya untuk menyalami tangannya, ia dengan lembut menyanggahnya karena alasan kotor.

“Ehh... Wioss we Dam, entong, panangan emangna nuju kotor(Ehh... gak papa dam, jangan, tangan paman sedang kotor)”

Seraya Adam mengembalikan posisi tangannya ke semula.

“Neme uih ti ponok Dam(baru pulang dari pondok Dam)"

“Muhun Mang, nemeu pisan sumping(iya mang, barusan banget sampai)”

“Naek naon Dam?(naik apa Dam?)”

“Naek mobil elep mang(naik mobil elep paman)”

“Kumaha Dam mondokna, sukseskan, menang juara teu,  apan adamah pinter?(gimana Dam mondoknya sukseskan, dapat juara gak, Adamkan pintar?)”

“Alhamdulillah Mang, ie Adam dapat juara"
Adam seraya mengambil tas  yang punggungnya dan membuka resleting tas itu dengan sedikit tergesa, ia mendapati piala warna emas dan mengeluarkannya lalu ia perlihatkan pada Mang Jaya. 

Alhamdulillah
Ucap Mang Jaya penuh rasa syukur.

Ia begitu bahagia melihat Adam, anak itu kini tumbuh dewasa dengan menorehkan prestasi, pikiran Mang Jaya terlintas pada Ayahnya Rohman, pasti ayahnya akan tersenyum melihat anaknya yang kimi membanggakan.

Ia Melihat Wajah Adam dengan lekat, sorot matanya berkaca-kaca, menatap Adam dengan penuh haru.

“Adam tos ageng ayeunamah, emang emut pisan nuju Adam alit, osok emang papangku, di pungu(Adam sekarang sudah besar, paman ingat sekali ketika Adam kecil, sering paman gendong, di gendong di pundak)”

Tiba-tiba saja endapan matanya yang kian berlinang terjatuh menyentuh bumi, tetes mata yang menambah isak hatinya yang begitu haru.

Iya mengisak dengan dalam.

Kitab mimpi pesantren [on going] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang