34.Rabiah Al-adawiyah

204 11 6
                                    

Rabiah Al-adawiya atau Rabi, tidak banyak yang tau siapa Rabi di pesantren Nurul Ilmi, dia begitu menutup identitasnya, hanya sahabat dan pengurus pesantren dan beberapa santri senior yang ta'dzim di rumah kiyai yang tau siapa Rabi'ah.

Rabi'ah adalah anak pemilik pesantren Nurul Ilmi atau Kiyai Zaenal Arifin dan Ibu Fatimah, Rabi menyimpan mahkota tak kasat mata dalam dirinya, ia tak perlu mengatakan pada penghuni pesantren kalau ia adalah anak kiyai Zaenal Arifin, ia lebih senang di anggap menjadi seorang santri pada umumnya, tidak ada perlakuan istimewa tidak ada penghormatan bak seorang putri pesantren.

Ia menjalin persahabatan tanpa ada keistimewaan dalam dirinya, hanya sahabatnya yang tau Rabi siapa, itulah kenapa sahabatnya sering menjuluki dan meledek Rabi dengan sebutan Princess atau tuan putri, itulah alasan mereka.

Rabi adalah santri pada umumnya ia menjalani kehidupan bak cinderella seperti di hukum membersihkan WC, para pengurus juga tak tinggal diam jika Rabi berbuat salah, tidak ada kata toleransi.  
Kiyai Zaenal Arifin juga tidak akan memaafkan Rabi jika ia berbuat salah, siapapun itu jika bersalah tetap harus di hukum.

Lebih dari itu Rabi mencari sosok sahabat yang melihatnya sebagai teman bukan sebagai putri kiyai, mungkin ketika waktu mengungkap akan membuat mulut beberapa orang menganga mendengar fakta tentang Rabi, pasti akan membuat semuanya menjalin hubungan baik dengan Rabi.  bagai seorang tuan putri dengan penuh kemuliaan dengan apik bertutur kata di hadapannya. Seumpama menunduk dan menjiwir gaun mereka dengan penuh hormat. Dan menatap iri pada Umi, Hafidzah dan Zahra karena begitu beruntungnya mereka.

Rabi juga kerap kali membungkam mulut Nada karena celotehnya, yang menyebut Rabi dengan sebutan "Neng", atau membuat Nafisa menatap kaget mendengar Fakta tentang Rabi'ah Al-adawiyah, dan rasa menyesal yang amat sangat karena prilaku sombong dan tak senonoh pada Rabiah, ia sangat menyesal hari itu hingga meminta maaf bebera kali pada Rabi'ah, membuat bibirnya kalut dan meneguk ludah tak percaya. 
Kini Nafisa selalu tersenyum hangat pada Rabi, ia juga membungkam status Rabi bergelar Putri Pesantren.

Rabi juga punya alasan kenapa identitasnya di tutup-tutupi.
Hari yang tak bisa Rabi lupakan, Hari yang membuat dirinya trauma, Rabi tak henti-henti menangis gara-gara kenangan itu.

Sore dengan senja yang jingga awan kemerahan bertabur di angakasa bercengkrama bersama angin dan burung-burung berkoloni menuju sangkarnya. Atmosfer memberi sejuk bagi bumi kini ia mulai mengelam memberi ruang bagi insan memulai rehatnya di ujung hari.

Seperti biasanya Rabi selalu melakukan rutinitas sorenya dengan membaca buku di pondok depan asrama, ketika heningnya memberikan waktu di mana kenangan itu melintas kembali, kenangan yang tak bisa ia lupa. Waktu yang memberi luka di jiwanya, kadang matanya berkaca-kaca ketika mengingat kembali di waktu itu. 

Ya tepat ketika Rabi masuk salah satu pesantren di Jawa Timur sebelum ia tinggal di pesantren asuhan Abbinya sendiri.

"RABIAH.....!"
Bentak seorang keamanan putri bertubuh gendut berwajah sangar pada Rabi sembari menjiwir sepucuk kertas dan memperlihatkannya pada Rabi. 

Ia marah padam di hadapan Rabi, "lihat ini." teriaknya keras
memekakan telinga Rabi di depannya

"Kamu berani-beraninya pacaran di pesantren ini," bentaknya dengan menjiwir telinga Rabi.

"Aduh.. Aduh.. "
Rabi terengah kesakitan.

"Mba surat itu bukan milik Aku, Aku juga gak tau kalau surat itu ada di lemariku." Ucap Rabi pelan dengan pandangan tertunduk takut, dengan jari-jemarinya saling meremas satu sama lain.

"Kamu pikir surat itu ada dengan sendirinya, pikir pakek otak...!" Teriaknya tak senonoh sembari meletakan jari telunjuknya pada pelipisnya.

Kitab mimpi pesantren [on going] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang