41.Nafas Terakhir

221 13 0
                                    

Seperti biasa langit sore di cakrawala lembayungnya menyinari hiruk pikuk manusia di keramaian jalan, bunyi klakoson kerap terdengar bising di telinga. Mereka rela begitu hanya demi berburu kuliner, menyantap dan menyegarkan dahaganya setelah usai melewati shaum.

Mereka bertiga sedang melayani pembeli, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundak Adam. Lelaki muda itu melihat Adam, Adam tak kenal siapa dia?

"Bang aku di suruh beli bubur sama gorengannya, dan ini uangnya." Ia menyerahkan uang 20.000 selembar.

"Tapi Bang bisa gak makanannya di antar ke dalam pasar, soalnya saya cuman di suruh dan di titipin doang." Pinta dia pada Adam.

"Kenapa gak sama lo aja."
Seru Fadli sinis.

"Gak bisa bang, soalnya saya mau pergi dan itu cuman titipan doang."

"Yaudah gak papa," ucap Adam santai.

"Emang lo mau ngantarnya Dam, kita gak ada delivery loh." Fadli memperingati.

"Mau gak mau Dli, ini buat pelanggan."

"Gak papalah cuman 20.000 doang, entar banyak yang beli." Fadli tak mau kalah.

"Dua pulu ribu kecil buat kamu. Tapi buatku itu besar loh Dli."

"Dam udahlah jangan, gue gak enak hati tau gak ada pembeli yang semaunya gue. Kalau bisa gue aja yang beli." Fadli tetap bersikukuh mencegah Adam.

Adam masih kekeh membungkus gorengan dan bubur itu. Ia tak pedulo perkataan Fadli.

"Yaudah terserah lo." Ucap Fadli pasrah.

"Orangnya dimana?" tanya Adam pada remaja lelaki itu.

"Abang lurus aja dari sini, dia ada di ujung pasar Bang, orangnya pakek baju merah terus badannya krempeng."
Terangnya pada Adam.

"Yaudah."
Adam menghela nafasnya berat.

°°°

Adam menjinjing kresek berisi bubur dan gorengan, menapaki jalanan pasar, ia sekilas melihat langit sore yang cerah mulai berubah kelabu. Apa langit sedang memperingatinya agar segera kembali. Tapi makanan di genggamannya tidak bisa menyurutkan niatnya untuk kembali.

Adam benar-benar merasa bingung, dimana sosok lelaki yang anak itu maksud, ia tidak melihat lelaki berbaju merah.
Pasar ini benar-benar luas dan dia hampir mentok di ujung pasar. Hingga ia belok di sebuah gang sepi. Dan akhirnya harapan itu nyata, lelaki berbaju merah dengan 2 orang temannya sedang duduk di atas lapak pasar, sembari mengisap batang rokok yang menyala.

Adam hanya bisa beristigfar, dan membaca subhanallah melihat prilaku maksiat mereka. Apa mungkin ini maksud si anak itu agar makanannya di antarkan, agar tidak ada yang tau kalau mereka tidak berpuasa. tebak Adam.

"Asalamualaikum."
Ucap Adam santai.

Tidak ada yang menjawab, seketika mereka melihat sinis ke arah Adam, lelaki berbaju merah tersenyum licik menatap kehadiran Adam.

Seketika Adam tersentak hebat melihat lelaki berbaju merah itu, memori Adam seketika mengingat dan mengenalnya jelas, dia adalah copet yang berhasil Adam gagalkan aksinya hari itu.

Adam benar-benar mematung di buatnya, lelaki krempeng itu berdiri dengan lagak sombongnya. "Lo ingat gue anji**." Dia mengumpat tak senonoh ke arah Adam.

Dia berjalan dengan sombong ke arah Adam. Dua orang di belakang lelaki itu tertawa meremehkan.

"Eh elo jangan belagu, lo lihat gara-gara lo, muka gue dan tangan gue lecet, anji**." Teriaknya tepat di depan muka Adam. Wajah kusam yang jarang di basuh air wudhu itu membuat Adam begitu kesal.

Kitab mimpi pesantren [on going] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang