29.Problema Dakwah Mujahid

211 15 4
                                    

Malam itu Adam menatap langit-langit kamarnya, tapi pikiran dan hatinya terbang ke awang-awang memberi ketentramaan tiada tara, hatinya menjelejah samudra rasa yang masih menyisa di detik cerita singkat cinta, mendelusi hatinya yang terus menjelajah bumi, atau menuju masa depan dimana ia melihat senja bersama seorang bidadari yang Allah kirim untuknya.

Adam melihat jelas wajah Afifah di bayang-bayangnya, entah kenapa siang tadi menyisakan seberkas rasa yang membuat tawa di malam bisu dan buta ini.

Adam mengambil guling di sampingnya lalu ia tutup setengah kepalanya dengan guling dan menyisakan bibirnya yang melukis senyum,  mengenang semua rindu yang entah hadir dari mana, apakah kini ia harus memulai menyebut nama Afifah di sepertiga malamnya.

°°°

Di bagian bumi yang berbeda, di malam itu ketika Adam melukis senyum, entah kenapa Rabi merasakan hal yang berbeda, seperti biasa di meja belajarnya ia menulis aksara cerita untuk mengenang hari ini untuk esok, menulis di dairy book warna pink hadiah kerja kerasnya bersama sang pangeran pesantren, pemberian Bu Fatma ketika Maulid Nabi, ia meneteskan bulir luka yang entah hadir dari mana, luka yang hadir begitu saja, apa karena segala kerinduan yang kini mulai  mengisi hatinya.

Tetesan itu terjatuh dari matanya membasahi kertas looslef bergambar tokoh animasi Princes Elsa, membuat sebagian kata memudar di buatnya.

“Adam kamu itu menyebalkan", itu kata yang kerap kali ia lontarkan tapi di balik semua itu menyembunyikan perasaan yang sudah sedalam palung cinta.

Ia masih bingung kenapa ia menangis, padahal tidak ada yang melukai hatinya, ia menoleh ke arah jam, oh iya ini sudah jam 12 malam mungkin itu alasannya kenapa matanya terasa perih.

ia beranjak dari meja belajarnya, menjatuhkan dirinya pada kasur di belakangnya, menatap langit-langit kamar bergambar bintang-bintang, ia mengambil bantal guling di sampingnya, lalu memeluknya dengan erat, entah kenapa dalam benaknya mulai ada tanda tanya soal kerinduannya. Bayang-bayang Adam muncul begitu saja.
“Adam sedang apa, apa kamu bahagia, apa kamu tau hatiku sedang murung, entah kenapa perasaanku sedang tidak enak hari ini”
Ucap Rabi dalam hatinya. Tiba-tiba bayang-bayang Adam memudar dengan perlahan, “Kamu benci Adam?"
“Sama Aku juga" sambil ia berdecak sebal dan menutup perlahan kelopak matanya yang mulai terasa tenggelam.

°°°

Kini Ustad Ali bisa tersenyum melihat Adam dan Hasan bisa meneruskan langkahnya, mereka secara bergantian mengajar di surau, bukan hanya itu menjadi imam masjid, muadzin, atau mengisi pengaosan ibu-ibu atau bapak-bapak, mungkin di alam sana ada rasa kebanggaan yang Ayah Rohman rasakan untuk Adam, melihatnya bisa berarti untuk sesama.

Sore itu ketika Adam selesai mengajar ia melangkah pergi menuju rumahnya, di pinggir jalan ia melihat seorang nenek berhenti kelelahan membawa beberapa kayu bakar.
Ia ingat namanya Nek Alit.

Adam menghampirinya dan mencoba untuk Menawarkan bantuannya.
“Nek, tiasa Abi bantu(Nek, bisa Aku bantu)"

Ia melihat lekat wajah Adam heran, ia agak mengingat-ngingat, melihat usia rentanya yang membuat ingatan di memorinya menurun begitupun penglihatannya.

“oh Adam, suganteh saha(Oh Adam, kirain siapa)" sapanya ramah dengan senyum merekah.

“wios entong, caket da bumi nini mah(gak papa gak usah, rumah nenek dekat kok)"
Tolak Nek Alit dengan lembut.

“Gak papa Adam mau bantu aja"
Adam dengan cepat mengangkat kayu bakar nenek itu di pundaknya, rumahnya tidak terlalu jauh, Adam juga tidak terlalu kelelahan.

Ketika Adam akan berpamitan dengan nenek itu dan melangkahkan kakinya untuk pergi, nenek itu mencegah Adam terlebih dahulu dan menyuruhnya menuggu.
Ia masuk ke rumahnya, beberapa saat kemudian ia datang membawa sebuah kresek warna hitam berisi sesuatu, lalu ia memberikan kresek itu pada Adam.

Kitab mimpi pesantren [on going] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang