40.Melarang cinta.

178 14 9
                                    

Hari ini Adam di perintah lagi untuk berjualan di pasar. Ketika
di jalan menuju rumah pak Kiyai.

"Jadi benar ayahmu bersahabat dengan Kiyai Zaenal Dam?" tanya Amir memastikan.

"Iya."
Angguk Adam membenarkan.

"Wah. Berarti persis bukan seperi kita. bersahabat."
Ucap Fadli.

"Yap benar banget." Adam bernafas pelan, "Memang banyak hal yang belum kuketahui soal Ayah, hanya saksi hidup yang pernah bersama Ayah yang membantuku mengenalnya lebih jauh." Adam merapatkan bibirnya hingga tersenyum simpul.

Mereka tepat di belakang rumah pak Kiyai. Memang kalau sekarang mengambil dagangan harus lewat pintu belakang, ya karena langsung terhubung ke dapur dan memudahkan untuk mengambilnya.  "Yaudah lo panggil gih." Fadli menyarankan ke arah Adam.

"Nah kalian?"

"Kami ada di belakangmu Dam." Balas Amir.

Mereka menunggu di belakang Adam dengan jarak jauh, jauh dari pintu alias bersembunyi.   Alasannya mereka merasa malu harus bertemu Bu Fatimah dan Kiyai soalnya mereka belum sedekat Adam.

Adam bernafas berat.
Ia mulai mengetuk pintu.

Tok.. Tok.. Tok

"Asalamualaikum."

Di dalam terdengar berisik, apalagi ketika para santriah mengobrol, mereka akan menghiraukan sekitarnya.
Itulah yang terjadi ketika kaum hawa benar-benar lupa dunia.
Terkecuali satu orang Hafidzah, Hafidzah memang pendengar yang baik dan alasan itu juga kenapa ia begitu tanggap dan cerdas di pesantren.

Bertepatan ketika itu Hafidzah sedang melepas cadarnya karena alasan panas apalagi sedang berpuasa, terlebih baju dan hijab syar'inya yang lebar-lebar menambah peluh keringat mengucur deras, apalagi dapur hanya di penuhi Akhwat jadi No Problem juga untuknya melepaskan cadarnya.  "Tunggu. ada yang ketuk pintu dan bilang salam." Hafidzah mendengar peka suara ketukan itu. Ia memperingatkan teman-temannya untuk diam, mereka menghiraukan Hafidzah karena keasikan bicara kecuali Rabi.

"Mungkin itu Umi!"
Jawab Rabi menebak.

"Kok cepat banget."
Pikir Hafidzah kebingungan.

"Gak tau." Rabi bergidik ke arahnya.

"Yaudah bukain aja Fi."
Lanjut Rabi menyarankan.

Hafidzah sedikit kebingungan, Umi itu, Kan, paling berisik dan ketika Umi berteriak penghuni di dalam ruangan langsung tau dan peka dengan suaranya. 

Hafidzah berjalan menuju pintu dan perlahan membuka pintu, "Sabar Mi." Ucap Hafidzah memperingati. Ketika pintu terbuka dan gagangnya tergeser.

Adam yang tertunduk kepalanya terangkat melihat siapa di depannya Adam menatap heran, pikirannya mencerna, "siapa dia?", Hafidzah yang melihat Adam kaget bukan main matanya terbelalak. Dengan cepat Hafidzah menutup pintu itu. Brak Suara pintu tertutup  cepat.

"Itu Adam," teriak Hafidzah kaget ke arah teman-temannya yang sibuk mengiris sayuran.

"Adam." Gumam Rabi penasaran. Rabi menepuk keningnya, ia lupa kalau Uminya tadi berpesan akan ada santri yang datang mengambil dagangan hari ini. Dan santri itu Adam.

"Maaf Fi aku lupa, tadi Umiku berpesan akan ada santri yang mengambil dagangan."
Rabi meminta maaf atas kekhilfannya, apalagi kejadian ini bukan main-main untuk Hafidzah. Untuk seorang wanita yang menjaga penuh kemuliaannya pasti akan terasa berat. Begitupun yang di rasakan Hafidzah.

Adam masih mematung di depan pintu, ia bersiap mengetuk lagi tapi tidak jadi. Toh orang dalam juga sudah tau kalau ada Adam di luar. Tapi pikirannya masih menerawang, "siapa kiranya yang membuka pintu?" Ia terbingung dalam beberapa menit. Wajahnya sangat asing, dia terlihat cantik sekali, tak mungkin ada wanita cantik di pesantren yang tak booming di asrama putra, tapi dia siapa? Hingga ia menyimpulkan sendiri, "Mungkin itu santri baru. Toh selama ramadhan banyak santri baru dan santri paskil." Ucap bathinnya.

Kitab mimpi pesantren [on going] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang