"Sekedar suka atau terlanjur cinta, tak ada alasan untuk tidak bisa merasakannya."
- Devaniel Marvien -
Jika Devan bisa beranggapan begitu, Ana juga bisa membantahnya agar tidak jatuh terlalu dalam.
"Devan itu playboy, dia bisa mengatakan kalimat...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Remaja laki-laki yang sangat jarang di rumah itu kini sedang menyenderkan punggungnya di kepala sofa yang berada di ruang tengah, membiarkan benda persegi panjang yang lebar itu menyala menonton dirinya yang sedang sibuk memainkan ponsel.
Entah kenapa Devan ingin segera pulang ke rumah, yang biasanya sepulang sekolah ia nongkrong di warung bersama teman-temannya, kini duduk manis didepan televisi. Merasa tidak ada hal yang menarik di ponselnya, Devan melempar ponselnya di atas sofa, lalu bangkit dari posisinya dan berjalan ke arah dapur.
Sesampainya di dapur Devan melihat wanita paruh baya yang sedang berdiri di depan wastafel, tengah membersihkan alat dapur yang mungkin habis digunakan untuk memasak.
"Bik Lisa masak apa hari ini?" tanya Devan seraya menarik kursi meja makan, mendaratkan pantatnya disana.
"Eh, Den Devan. Bibi masak sop daging, ongseng kentang, kering tempe sama tahu goreng. Den Devan mau apa? Kalau mau makanan lain biar Bibi masakin sekarang."
Devan menggeleng, mengambil dua centong nasi dan meletakkannya diatas piring kosong yang sudah tersedia di atas meja. Devan mendongak, menatap seorang wanita yang ia panggil Bik Lisa itu. "Udah berulang kali aku bilang, panggil Devan aja, bibi udah aku anggap orang tua aku sendiri."
Wanita bernama Lisa itu mendekat menghampiri anak muda yang sedang melahap makanan yang ia masak itu, remaja laki-laki yang tidak lain adalah anak dari majikannya.
Devaniel Marvien, seorang remaja laki-laki yang ia besarkan dari sekitar umur tiga belas tahun. Lisa merawat Devan setelah ditinggal orang tuannya pergi ke luar negeri, orang tuanya hanya akan pulang sekitar tiga atau enam bulan sekali.
Orang tuanya memilih hidup di negara sakura daripada di Indonesia. Devan sendiri diajak untuk tinggal bersama mereka disana namun Devan menolak. Devan tidak ingin meninggalkan negaranya sebelum ia menemukan sosok perempuan yang ada didalam mimpinya, tapi tentu saja bukan itu yang ia katakan pada orang tuanya, Devan beralasan ingin hidup mandiri di negaranya.
Aneh? Memang, tapi itulah seorang Devan yang selalu memiliki pendirian yang sangat kuat. Meskipun usianya masih dibilang terlalu kecil saat mengalami mimpi itu, tapi Devan sangat yakin perempuan yang ada di mimpinya itu adalah jodohnya, pendamping hidupnya kelak dimasa depan.
"Iya nak Devan, tapi bibi masih sungkan aja. Kaya nggak sopan kalo manggil namanya doang," Lisa menjawab, ditariknya kursi yang berada di seberang Devan. Seperti inilah keadaan yang selalu Lisa jumpai setiap hari, tidak ada batasan dari Devan yang menganggap posisinya lebih rendah.
Devan mengunyah makanannya di dalam mulut sebelum menanggapi ucapan asisten rumah tangganya itu. "Bibi udah kaya sama siapa aja. Oh iya, Ana mana Bik? Kok nggak keliatan dari tadi?"
Lisa menuangkan air putih ke dalam gelas kosong, didorongnya pelan gelas yang kini berisi itu ke arah Devan. "Dia belum pulang sekolah, nggak tahu kemana."