"Sekedar suka atau terlanjur cinta, tak ada alasan untuk tidak bisa merasakannya."
- Devaniel Marvien -
Jika Devan bisa beranggapan begitu, Ana juga bisa membantahnya agar tidak jatuh terlalu dalam.
"Devan itu playboy, dia bisa mengatakan kalimat...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Seluruh pasang mata sontak menatap Devan. Laki-laki itu baru saja tiba di kantin dan mendengar teriakan Jessica, sementara Devan sendiri sudah tahu tentang kehebohan hari ini dimana kebohongan Ana sudah terbongkar saat ini.
Devan mendekat ke arah Ana dan Jessica. "Balik ke kelas lo," perintahnya tanpa ekspresi, tatapannya menuju ke arah Ana yang masih mencerna ucapannya.
Ana tersentak ketika Jessica tiba-tiba menarik pergelangan tangannya hendak membawanya pergi dari sana. Namun lagi-lagi suara dari ujung kantin menginterupsi mereka untuk tidak beranjak dari tempat.
"Tunggu!"
Kembali, seluruh pasang mata kini teralihkan pada sosok perempuan yang berada di ujung kantin. Tatapan perempuan itu menampilkan ketidaksukaan pada apa yang sedang terjadi. Ya, itu Tasya.
Tasya melangkah mendekat ke arah Ana dan Jessica, disusul kedua temannya di belakang— Anya dan Manda.
Tasya menoleh ke arah Devan, ia melirik sinis laki-laki yang kini statusnya adalah calon masa depannya. "Devan, lo itu calon tunangan gue. Kenapa lo masih aja belain cewek murahan itu?" tanyanya tegas seraya sesekali melirik ke arah Ana.
Devan mengepalkan tangannya, emosinya mendadak naik ke permukaan ketika Tasya membahas tentang pertunangannya itu. Meski begitu, Devan masih berusaha untuk tetap tenang. "Gue ingetin lagi sama lo, Sya. Gue nggak pernah mau tunangan sama lo."
Tasya berdecih. "Kenapa?" ia menatap Ana kemudian. "Atau jangan-jangan, bener kata Friska tadi? Lo pake pelet mana sampai Devan mau belain lo kaya gini?"
"Cukup, Tasya!" Devan membentak, ia tidak bisa membiarkan keributan ini berlanjut atau ini akan semakin membuat Ana sakit hati.
"Tuh kan, bahkan dia berani bentak calon tunangannya sendiri!" geram Tasya membela diri. Sungguh, ia membenci hal seperti sekarang ini, apalagi ketika ia mengingat Devan menolaknya mentah-mentah di depan keluarganya sendiri dan keluarga Devan.
Keempat teman Ana berlari dari lapangan basket mendekat ke arah Ana setelah mendapat kabar sedang ada keributan di kantin. Mereka yakin keributan itu terjadi pada Ana, dan ternyata dugaan mereka benar.
Devan menatap tajam Tasya, tangan kanannya bergerak mencengkram lengan Tasya. "Gue udah bilang berkali-kali kalau gue nggak mau tunangan sama lo karena gue emang nggak pernah suka sama lo, Sya. Masalah ini nggak ada hubungannya sama Ana."
Mendapat perlakuan seperti itu dari Devan tidak membuat Tasya takut sama sekali, bahkan ketika kedua temannya mengisyaratkan padanya untuk menghentikan aksinya, ia justru mengabaikannya.
Tasya kembali menatap Ana, masih sama dengan tatapan kebencian. "Secara nggak langsung semua ini karena lo! Kalau aja lo nggak ada di dunia ini, gue bisa ngerasain semua kebahagian yang gue mau!"
Kebahagian yang Tasya maksud adalah dengan memiliki keluarga yang utuh, ketika semua keinginannya dengan mudah terpenuhi, termasuk dengan kebahagiaan memiliki seorang kekasih yang sangat dicintainya. Ketiga hal itu hampir Tasya dapatkan kecuali yang ketiga itu.