"Sekedar suka atau terlanjur cinta, tak ada alasan untuk tidak bisa merasakannya."
- Devaniel Marvien -
Jika Devan bisa beranggapan begitu, Ana juga bisa membantahnya agar tidak jatuh terlalu dalam.
"Devan itu playboy, dia bisa mengatakan kalimat...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Terlalu khawatir akan apa yang belum tentu benar-benar terjadi, tidak ingin menanggung resiko yang mungkin bahkan tidak bisa diselesaikan sendiri. Takut akan kenyataan tak sesuai yang diinginkan, lalu perlahan orang-orang yang ia sayangi pergi dengan silih berganti.
Ana tidak ingin kecewa pada akhirnya, itu salah satu alasan kenapa dia tidak mampu mengungkap kebenaran tentang isi hatinya.
Ana tengah berada di toilet sekolah sekarang. Setelah menyelesaikan lomba menyanyinya, ia langsung pergi ke toilet untuk membersihkan wajahnya di sana, didepan wastafel yang terdapat kaca besar, Ana berdiri seraya menatap pantulan dirinya dari cermin.
Sia-sia Ana menahannya sedari tadi, cairan bening itu tiba-tiba jatuh begitu saja dari matanya, tanpa permisi ia mengalir begitu saja membasahi pipinya.
Ana tengah menangis tanpa suara. Entah sebenarnya apa yang ia tangisi, entah tentang perasaan atau tentang masalah hidupnya yang seolah tidak ada habisnya.
Sebelum-sebelumnya, seberat apapun masalah yang Ana alami seperti harus berjauhan dengan orangtuanya, ia tak pernah menangis seperti ini. Jujur saja Ana tidak ingin menangis, tapi ia tidak bisa menghentikannya, Ana tidak ingin bersedih, tapi itulah kemauan hatinya.
Ana kembali membasuh wajahnya setelah merasa puas menangis, lalu mengeringkan wajahnya dengan tisu kering agar tidak ada orang yang melihat mata sembabnya.
Ana lalu keluar dari toilet, namun langkahnya terhenti ketika melihat seseorang tengah berdiri tegak seraya menatapnya.
Devan.
Laki-laki itu mendekat ke arah Ana, menatap mata Ana begitu dalam seolah tengah mencari alasan kenapa Ana tidak bisa mengakui perasaanya.
"Kenapa lo nggak mau jujur?" tanya Devan to the point, merasa tidak puas dengan jawaban Ana di rooftop tadi.
Ana menatap Devan dengan datar, ia sudah muak dengan laki-laki ini yang selalu mengusik hidupnya, tidak bisakah ia berhenti menggangu hidupnya?
"Apalagi? Gue udah ngomong yang sejujurnya," balas Ana.
Devan mendengus. "Lo bisa bohongin semua orang, tapi lo nggak bisa bohongi gue, Ana," tekannya sekali lagi.
Ana mengeram kesal. "Gue udah bilang kan tadi? Gue nggak suka sama lo, Devan!" Ana menghela napas sejenak sebelum akhirnya melanjutkan perkataannya dengan nada yang lebih rendah. "Gue nerima perlakuan lo karena lo udah baik sama keluarga gue. Dan tentang sikap gue ke lo belakangan ini itu cuma karena gue takut lo pecat mama gue kalau gue nggak nurutin kemauan lo."