17. Sad day

64 5 0
                                    

🎶 Play song : Jangan Rubah Takdirku -
Andmesh.

🍂

Terlalu khawatir akan apa yang belum tentu benar-benar terjadi. Tidak mau menanggung resiko yang mungkin bahkan tidak bisa diselesaikan sendiri.

Takut akan kenyataan tak sesuai yang diinginkan. Hingga perlahan orang-orang yang disayangi pergi silih berganti.

Ana tidak mau kecewa pada akhirnya. Itu alasan kenapa dia tidak mampu mengungkap kebenaran tentang isi hatinya.

Ana tengah berada ditoilet sekolah sekarang. Setelah menyelesaikan lomba menyanyinya, ia langsung pergi ke toilet untuk membasuhkan wajahnya di sana. Berdiri didepan wastafel yang tersedia, menghadap kaca besar didepannya, ia menatap bayangannya sendiri.

Cairan bening itu tiba-tiba jatuh begitu saja dari matanya. Tanpa permisi, ia mengalir dipipinya.

Ana tengah menangis tanpa suara. Entah sebenarnya apa yang ia tangisi. Perasaan atau masalah hidupnya yang kian bertambah.

Sebelum-sebelumnya, seberat apapun masalah, ia tak pernah menangis seperti ini. Jujur, Ana tidak ingin menangis, tapi ia tidak bisa mengehentikannya. Ana tidak ingin bersedih, tapi itulah kemauan hatinya.

Gadis itu membasuh wajahnya kembali setelah merasa puas menangis. Lalu mengeringkan wajahnya agar tidak ada orang yang mengetahui dia habis menangis.

Ana lalu keluar dari toilet. Namun langkahnya terhenti ketika melihat seseorang tengah berdiri tegak seraya menatapnya.

Devan.

Devan mendekat ke arah Ana. Lalu menatap mata Ana begitu dalam. Mencari alasan kenapa Ana tidak bisa mengakui perasaanya.

"Kenapa lo gak mau jujur?" tanya Devan meminta penjelasan.

Ana menatap Devan dengan datar. Kenapa cowok ini selalu mengusik hidupnya, tidak bisakah ia berhenti menggangu hidup Ana?

"Gak ada yang perlu dijelasin lagi, Van," balas Ana.

Devan tersenyum sinis, "Lo bisa bohongi temen-temen lo. Tapi lo gak bisa bohongi gue sedikitpun," katanya.

Ana menggeram kesal, "Gue udah bilang kan tadi, gue gak suka sama lo!" Menghela napas sejenak sebelum akhrinya melanjutkan perkataannya dengan nada yang lebih rendah.

"Gue nerima perlakuan lo karena lo udah baik sama keluarga gue. Dan gue juga takut lo pecat mama gue kalau gue gak nurutin kemauan lo,"

Devan menggeleng, "Enggak An, soal ancaman itu gue bohong, gue nggak pernah serius mau mecat mama lo. Gue udah anggap mama lo orang tua gue sendiri. Jadi tolong, jujur sama perasaan lo kali ini, lo suka kan sama gue?"

Ana menyeka air matanya yang hampir lolos jatuh. Berusaha sekuat mungkin agar tidak menangis di depan Devan. Tapi nyatanya ia tidak bisa. Sekali mengerjapkan mata, cairan bening itu turun kembali.

Ana menangis. Merasa egois jika harus terus berbohong. Perasaannya dan perasaan Devan tidak pernah salah. Lalu apalagi yang harus dipermasalahkan?

"Gue... gue nggak bisa sama lo, Van," dengan dada sesak dan suara serak, Ana berusaha menjelaskan kepada Devan. "Kita beda Van, kita gak pernah bisa bersama,"

DEV'ANA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang