"Sekedar suka atau terlanjur cinta, tak ada alasan untuk tidak bisa merasakannya."
- Devaniel Marvien -
Jika Devan bisa beranggapan begitu, Ana juga bisa membantahnya agar tidak jatuh terlalu dalam.
"Devan itu playboy, dia bisa mengatakan kalimat...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ana kembali menyalakan ponselnya yang berada di genggamannya. Dengan tangan yang bergetar dan mata yang buram akibat cairan bening yang tiba-tiba menggenang di pelupuk matanya, Ana mengirimkan lokasi kini ia berada pada kontak ponselnya. Entah tertuju pada siapa, yang terpenting ia sudah berusaha meminta pertolongan.
Derap langkah ketiga pria itu semakin dekat, Ana mencari kontak yang berada di panggilan terkahir, ia mencoba menghubungi nama kontak teratas dan kedua di fitur panggilan, tanpa sempat membaca nama kontak tersebut, Ana langsung saja menghubunginya.
Terhubung, tapi tidak satupun yang diangkat oleh si penerima. Ana mencoba kembali menghubunginya berulang kali tapi hasilnya tetap sama.
"Hai cewek, ngapain disini malem-malem?" ucap pria yang memiliki tato di bagian lengan kiri atas, tubuhnya di sengaja direndahkan hingga kini bisa menatap Ana.
Ana menunduk, sama sekali tak berani mendongak apalagi menatap ketiga pria itu. Tangannya bergetar menggenggam erat ponsel miliknya. Hari yang semakin malam itu membuat sekitar tempatnya berada sudah tidak ada orang. Sepi, bahkan kendaraan pun sudah tidak terlihat melintas.
Tuhan. Apakah malam ini akhir dari hidup Ana? Apakah ini akhir dari cerita hidup Ana? Padahal Ana belum sempat membahagiakan ibunya, Ana belum sempat berbaikan dengan ayahnya, dan Ana belum sempat membalas perasaan Devan.
Ana ingin mengakuinya kali ini, Ana tidak akan denial lagi, dia akan mengakuinya bahwa ia benar-benar mencintai Devan, ia menyayangi Devan seperti Devan menyayanginya.
Mama, Ana takut.
"Nungguin... kitalah, kita kan... mau main... sekarang," ucap pira lain yang berdiri dengan sempoyongan di belakang pria bertato, tangannya sesekali menyibak wajahnya dengan kasar.
Sementara pria lain yang berdiri di samping Ana merubah posisinya, ikut berjongkok seperti posisi Ana dengan tangan yang berani mengusap rambut Ana pelan.
Sontak Ana menjauhkan kepalanya, ia merinding ketakutan dan ketika Ana melirik ke arah sisi kakinya, Ana melihat sebatang kayu disana. Ana mencoba meraih kayu itu lalu dengan cepat memukulkannya pada pria yang berani menyentuh rambutnya itu. Pria itu mengaduh kesakitan dan kesempatan itu Ana gunakan untuk bangkit dari posisinya, berancang-ancang untuk lari sekencang mungkin.
Namun sialnya ketika Ana baru berdiri untuk kemudian berlari, dress yang ia pakai tersangkut pada ujung besi yang sudah karat, membuat dress di bagian pahanya sobek ke atas hingga paha kakinya terekspos lebih jelas. Ana segera menyibak dress-nya dari sisi lainnya.
Ana kembali mendongakkan kepala, niat untuk melarikan diri hilang ketika ketiga pria itu sudah mengurung posisinya, bahkan kini kedua tangannya sudah di tahan kuat oleh dua pria sementara pria bertato itu berdiri di depannya.