37. Harapan?

67 1 0
                                        

Play song : Melawan Restu - Mahalini.


--

Sekarang sudah tidak ada harapan lagi. Harapan untuk bisa bersama dengan Devan sudah tidak ada lagi. Kenyataan yang begitu menyakitkan memang. Orang yang selama ini Ana rindukan, orang yang selama ini ia harapkan untuk bisa kembali bersama, sudah memiliki sosok baru di kehidupannya.

"An, udah jangan nangis,"

Ana terus menunduk, kedua kakinya ia tekuk. Menatap aspal yang tengah di pijaknya. Mengabaikan suara Aldito yang duduk di sebelahnya.

Ya, Aldito yang mengejarnya tadi. Kenapa? Kenapa harus Aldito? Kenapa bukan Devan yang mengejarnya tadi.

Apa ini yang Devan rasakan dulu ketika memperjuangkan dirinya. Apa rasa sakit ini yang Devan rasakan ketika dia berjuang untuk mendapatkan hatinya. Dan apa ini rasa kecewa yang Devan terima ketika Ana menolak atau enggan untuk diperjuangkan.

Aldito yang tidak juga mendapat respon Ana, mendekat ke arah Ana berniat untuk menenangkan perempuan itu. "Jangan sedih terus, gak pantes lo sedih kaya gitu,"

Ana masih diam, enggan merespon ucapan Aldito. Sementara Aldito sendiri paham sama apa yang tengah Ana rasakan saat ini. Maka dari itu, ia mencoba untuk menenangkan Ana, setidaknya membuat Ana agar tidak terlalu bersedih.

"Tau nggak, An, tentang rumitnya cinta?" Tanya Aldito memberi pengertian pada Ana. "Cinta itu emang rumit, rumit banget. Semakin di kejar malah semakin lari. Tapi, setelah cinta itu udah ada di depan mata, kita malah mengabaikannya,"  Aldito tidak menatap Ana. Pandangannya lurus mengarah ke jalanan yang berada di depan sana.

"Tapi lo percaya nggak adanya cinta sejati?" Tanya Aldito lagi. "Sejauh apapun cinta itu pergi, kalo sudah ditakdiran bersama, ya, akan tetap bersama. Nggak peduli jarak dan waktu yang terbentang cukup jauh. Mereka akan tetap bersatu,"

Dengan isakan tangis, Ana mencoba membalas ucapan Aldito, "Tapi gue bukan cinta sejatinya Devan, Al. Gue sama Devan nggak bisa sama-sama lagi,"

Aldito menoleh ke arah Ana, "Kalaupun lo nggak bisa sama Devan, suatu saat nanti pasti bakal ada seseorang yang benar-benar sayang sama lo. Jadi, mulai sekarang lo harus bisa ikhlasin Devan, ya. Biarin Devan bahagia sama pilihannya."

"Susah, bahkan setelah satu tahun nggak ketemu pun, gue masih sayang sama Devan."

"Pelan-pelan Ana, pasti bisa kok. Tunjukin ke Devan kalo lo bisa bahagia tanpa dia. Karena satu hal yang harus lo tau, cowok kalo semakin dikejar malah semakin seenaknya."

"Gitu ya, Al?"

"Iya, percaya sama gue."

Ana menghela napas lelah. "Tapi kalo gue tetep nggak bisa ikhlasin Devan gimana?" tanyanya dengan tatapan sendu.

"Usaha dulu. Kalo nggak dicoba kita nggak bakal tau berhasil atau enggaknya,"

Akhirnya Ana mengangguk dengan senyuman tipisnya.

--

Pagi ini cukup mendung, membuat Ana kewalahan mengurus cafe. Karena banyak mahasiswa yang berteduh ditempatnya. Sambil menunggu hujan reda, mereka mencoba menu yang tersedia di cafe milik Ana.

"Melly tolong anterin ini ke meja nomer empat, ya," pinta Ana pada karyawannya.

"Baik mba," jawab Melly sambil meraih nampan yang berisi dua kopi hangat.

DEV'ANA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang