35. Patah hati

50 1 0
                                    

Setidaknya saya tidak pernah menerima pernyataan cinta seseorang yang tidak saya cintai balik hanya karena takut kesepian. Lebih baik saya kesepian daripada harus menjadikan orang yang benar-benar tulus mencintai saya sebagai pelarian.

Sekian dan terimakasih.

---

"Silahkan diminum, bang," ucap Ana terkekeh sambil menyerahkan secangkir hot capuccino pada seorang laki-laki yang berada didepannya.

"Kampret lo, An. Lo kira gue tukang ojek apa!" bantah laki-laki itu, arah pandanganya mengikuti Ana yang hendak duduk.

Ana tertawa pelan, "Kalo abang ojeknya ganteng kaya gini mah, yang mau order banyak. Pada ngantri malah,"

Mendengar kata ganteng keluar dari mulut Ana, laki-laki itu tersenyum sumringah, "Gue ganteng?" tanyanya.

Ana mencermati laki-laki itu dari wajah sampai kaki. Ana mengangguk beberapa kali lalu menjawab, "Tapi bo'ong," ledeknya menjulurkan lidah.

"Sialan lo!" Laki-laki itu mendesah pelan. "Eh, An. Lo kok bisa buka cafe? Punya lo?"

Ana menggeleng, "Bukan, ini punya tante gue. Pusatnya di Bandung, kalo ini cabang."

Laki-laki itu mengangguk paham, "Kirain punya lo."

"Enggaklah. Setelah gue keluar dari rumah Devan, gue balik ke Bandung. Tinggal dirumah tante gue sampai gue lulus sekolah. Terus dikasih kerjaan sama tante gue. Nah, gue dikasih kepercayaan buat pegang nih cafe."

Laki-laki itu manggut-manggut paham. Lalu mencermati Ana yang berada didepannya. Garis senyum tercetak dibibirnya.

"Kenapa lo senyum-senyum?" tanya Ana heran.

"Lo cantik,"

Ya. Menurutnya, Ana lebih cantik sekarang. Wajah yang putih mulus tidak ada goresan sekecilpun. Bibirnya yang tampak lebih merah kali ini-- tapi bukan menor yaaa. Dan bulu mata yang lentik, alis yang rapi dan rambut yang wangi. Benar-benar berbeda dari Ana waktu masih SMA.

Cukup lama laki-laki itu mengamati wajah Ana. Tapi senyum laki-laki itu perlahan memudar setelah mendengar jawaban Ana.

"Udah cantik dari lahir kali. Lo aja yang matanya burem,"

Mengelus dada beberapa kali. Ana masih sama sikapnya seperti dulu  Tidak ada yang berubah.

"Iyain ajalah biar cepet," dengkus laki-laki itu.

"Yah, payah lo, Al."

Laki-laki yang sedari tadi bersama Ana adalah Aldito, sahabat Ana sendiri dulu waktu SMA.

Tadi selepas kepergian Devan, Aldito tiba-tiba menghampiri Ana. Aldito terkejut bukan main melihat Ana berada didepannya. Selain karena penasaran kenapa Ana memilih pergi, ia juga merindukan gadis itu. Makanya dia berada di cafe Ana sekarang. Menagih penjelasan pada gadis itu.

"Jadi, kenapa lo milih pergi?" tanya Aldito mode serius.

Ana menatap Aldito sebentar, "Ya gitu. Gue nggak bisa ngelawan takdir. Mau berjuang gimanapun juga kalo bukan takdirnya, gue bisa apa?" jawabnya. Mimik wajah Ana mendadak lesu. Mengingat kembali kenangan satu tahu yang lalu.

"Lo bukan Tuhan yang tahu tentang takdir manusia, Ana. Lo cuma terlalu khawatir sama apa yang belum tentu terjadi," ucap Aldito menepis pendapat Ana.

"Oke, mungkin saat ini belum takdirnya lo sama Devan. Tapi apa yang akan terjadi satu, dua tahun kedepan, nggak ada yang tahu kecuali Tuhan,"

"Lo nggak akan tau apa yang akan terjadi besok. Jangankan besok, satu detik setelah ini aja kita nggak tau apa yang akan terjadi."

DEV'ANA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang