Satu pertanyaan yang lolos dari mulut Ana, sukses membuat orang seisi ruangan terdiam.
"Kalian siapa?"
Lisa lah yang paling merasakan keterkejutan. Tubuhnya sedikit terhuyung ke belakang dan untung saja Aldito sigap menahannya.
"Sayang, ini mama," ucap Lisa setelah bangkit kembali.
"Ini mama sayang, kamu inget kan sama mama?"
Ana terus memegang kepalanya yang masih terasa pusing. Usahanya untuk mengingat orang-orang yang ada disana tambah membuatnya kesakitan.
"Ana, lo inget gue kan?" tanya Jessica mendekati Ana di sebelah Lisa.
"Gue Jessica, sahabat lo,"
Ana memejamkan matanya kembali. Meredakan rasa sakit yang ada di kepalanya.
"Ana, gue Aldito, sahabat lo juga. Lo inget gue kan?" tanya Aldito.
Bukannya membaik dan mengingat orang-orang itu, justru membuat kepala Ana terasa lebih berat.
Tepat saat itu juga, dokter masuk ke ruangan bersama suster.
"Permisi, biar saya periksa dulu pasiennya," ucap dokter.
Orang-orang yang berada didekat Ana sedikit menjauh dari ranjang Ana. Membiarkan dokter memeriksa keadaan Ana.
Setelah memeriksa, dokter pun menjelaskan keadaan Ana. "Akibat benturan keras yang terjadi dikepala, mengakibatkan pasien mengalami kerusakan pada ingatannya."
Lisa menutup mulutnya tak percaya mendengar itu. Devan hanya diam dengan wajah tanpa ekspresi.
"Tapi tidak perlu khawatir, kerusakan ingatannya ini tidak permanent. Dengan berjalannya waktu, pasien akan bisa ingat memorinya sedikit demi sedikit," Dokter menoleh ke arah Ana, "Tapi jangan terlalu dipaksa ya, harus pelan-pelan."
Setelah itu, dokter dan suster keluar dari ruangan.
"Sayang.." lirih Lisa kembali mendekati Ana.
"Haus," ucap Ana.
Lisa dengan sigap mengambil air putih yang berada diatas nakas sebelah ranjang yang ditempati Ana.
Aldito mengitari ranjang Ana, hingga sekarang dia berdiri disamping kanannya. Berhadapan dengan Lisa untuk membantu Ana bangun dari posisinya.
Setelah minum, Ana kembali mencoba menatap satu persatu orang-orang yang berada didalam ruangan. Di mulai dari Lisa, Galih, Tasya hingga terakhir, kedua matanya terhenti ketika menatap Devan.
Devan yang sedari tadi hanya diam memperhatikan Ana, menatap balik Ana yang sedang menatapnya.
Cukup lama, tatapan itu membuat Devan sangat berharap kalau Ana bisa mengingatnya. Meskipun tidak ingat dengan dirinya, setidaknya dengan kenangan-kenangan yang dulu mereka pernah lalui.
Ana memejamkan mata dengan tangan yang kembali memegang kepalanya.
"Udah, sayang, nggak usah dipaksa. Yang penting ini mama, mama kamu," ujar Lisa menenangkan Ana.
Ana mengangguk menatap Lisa, "Iya, ma," jawabnya dengan suara lemah.
Keluarga Galih berpamitan untuk pulang. Sebelum keluar dari ruangan, Galih juga meminta untuk Devan ikut pulang dengannya. Namun Devan menolak, dia meminta sedikit waktu untuk melihat Ana lebih lama lagi.
Akhirnya Galih menuruti. Dia pulang terlebih dulu bersama keluarganya sementara Devan masih tertinggal didalam ruangan bersama Aldito, Raka dan Jessica.
"Bi Lisa," panggil Devan. Lisa yang tengah menenangkan Ana pun menoleh ke arahnya.
"Iya, den?"
"Boleh Devan ngobrol sama Ana? bentar aja nggak lama," pinta Devan.

KAMU SEDANG MEMBACA
DEV'ANA (END)
Teen FictionPROSES REVISI "Entah ini hanya sekedar rasa suka atau bahkan cinta, keduanya nggak harus memiliki alasan." - Devaniel Marvien. "Lo itu playboy. Dengan mudah, lo bisa mengatakan kalimat itu pada cewek manapun." - Melissa Anatsya. _________________...