"Dret ... dreet ... " Bunyi getar handphone-ku. Segera aku meraihnya dari atas meja belajarku, panggilan yang sudah kutunggu dari tadi.
"Halo, Sayang." Terdengar suara dari seberang.
"Iya, Pah," jawab ku dengan suara yang cukup bergetar.
"Maaf, Papa gak bisa datang, Sayang."
"Iya Pah, Ita ngerti kok. Yang penting Papa cepat sembuh," kataku lagi dengan menahan tangis.
"Halo, Ita sayang," Kali ini suara mama.
"Iya Ma, Mama juga gak usah datang. Mama jagain Papa aja di sana," kataku segera.
Aku tahu papa pasti memaksa mama untuk datang, tapi mama harus selalu ada bersama papa.
Tangisku pecah meratapi nasibku dan juga orang tuaku setelah kututup telfon dari mama. Aku memeriksa jam, pukul 06.15 sekarang. Aku menatap nanar keluar jendela masih dengan air mata yang membasahi wajahku.
Cuaca mendung hari ini seperti mewakili perasaanku. Tak ada bahagia, bahkan sedikit niat untuk tersenyum pun tidak ada.
Hari ini hari wisudaku, setelah kurang lebih 3 tahun aku menghabiskan waktu di sebuah Akademi Kebidanan di kota Medan. Tapi aku harus siap dengan keadaan ini, menghadiri upacara wisuda tanpa kehadiran orang tuaku.
Sebenarnya papaku termasuk orang yang sehat, jarang sakit setidaknya sampai bulan lalu ketika papa harus mengalami peristiwa tragis.
Mobil yang ditumpangi papaku mengalami kecelakaan di jalan menuju pulang malam itu. Jalan yang licin akibat hujan deras menjadi pemicu utama kejadian itu. Berbagai rumah sakit sudah kami coba, tapi tak pernah berhasil. Kami hanya bisa berdoa dan pasrah kepada yang Kuasa. Ini benar-benar diluar kendali kami.
"Huft, begitu memilukan," desahku dan meraih tas tanganku berjalan keluar rumah karena taxi online yang sedari tadi kupesan sudah menungguku di luar.
"Clarita kan, Dek?" tanya supir taksi itu.
"Iya, Pak," jawabku singkat kemudian langsung meraih pintu mobil dan masuk. Tak sampai 30 menit aku sudah tiba di kampusku. Acaranya akan segera dimulai. Aku menghela nafas cukup panjang, mengedipkan mataku berkali-kali menahan agar air dari sana tak jatuh.***
Acaranya sudah selesai, semua wisudawan, wisudawati berjalan rapi keluar gedung untuk menemui keluarga mereka. Aku mencoba menarik pelan bibirku untuk tersenyum dan kembali menghela nafas panjang.
Tak ada yang berkesan dari tadi. Aku memandangi teman-teman yang sudah bersama keluarga. Bersalaman dan saling memeluk.
Kata selamat setidaknya lebih ratusan kali kudengar dalam beberapa menit. Tentu saja aku juga mendapat nya dari beberapa temanku yang tidak sengaja melihatku berdiri di dekat sebuah tiang gedung ini.
Aku bukannya tidak memiliki teman disini, hanya aku tak cukup dekat dengan mereka. Sebenarnya aku juga memiliki sahabat di kelasku, Widia namanya. Hanya saja tahun ini dia belum bisa wisuda.
Dia juga tidak bisa datang sekedar datang melihatku. Dia memang sedang di luar kota sekarang. Ucapan selamat darinya telah kuterima lewat chat dari WhatsApp tadi pagi.
"Selamat ya, Sayang. Buat wisudamu hari ini. Enak lah ko wisuda, awak apalah ya kan? Tapi aku tetap bahagia untukmu. Pokoknya cepat dapat kerja, jangan lupa doain biar aku cepat nyusul." Isi chat Widia. Aku tak membalas pesannya. Aku tahu dia pun tak menuntutnya, karena dia pun paham kondisiku sekarang ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Household [SEGERA TERBIT]
General FictionFOLLOW DULU SEBELUM BACA ❤️ Clarita harus berjuang mempertahankan rumah tangganya. Bukan hal yang mudah menjalani pernikahan yang tidak didasari cinta, apalagi suaminya adalah mantan dari sahabatnya sendiri. Tapi Clarita tahu bahwa semua sudah menj...