Bagian 33. Beruntungnya dia

3.4K 123 51
                                    

|° Happy Reading °|
⊂(◉‿◉)つ

Warning!!!
Klik 🌟 di pojok kiri, dan siapkan jarimu untuk mengomentari

.
.
.

Berani melambungkan harapan terlalu tinggi, maka harus siap untuk kemungkinan jatuh yang paling sakit

🥀🥀🥀

Aku menyetop sebuah taxi setelah keluar dari area perumahan itu, meninggalkan mereka yang telah menghancurkan aku.

Air mataku tumpah saat aku sudah di dalam taxi, menangis sesegukan tanpa suara.

"Di sini, Pak," ucapku saat aku sudah tiba di minimarket tempatku memarkirkan mobil tadi. Aku berjalan lunglai mendekati mobilku dan memasukinya.

Kubenamkan wajahku di stir mobil. Menangis, hanya itu yang bisa kulakukan. Menangis seraya memegangi dada yang masih saja sesak.

"Tega sekali kamu, Yosh. Setelah membuatku melambungkan harapan tinggi kau malah menjatuhkan aku."

Aku bangun, menghidupkan mesin mobil dan baru saja akan melajukan aku tersadar dengan bekal yang akan kubawa ke kantor Yosh. Bekal itu masih bertengger di jok samping. Aku menatapnya sekilas, geram.

Aku meraihnya, keluar mobil dan membuangnya ke tong sampah minimarket ini.

"Ternyata, apapun yang kulakukan tak berarti apa-apa untuk pria itu."

Aku kembali, dan melajukan mobilku.

Hari sudah semakin sore, di sinilah aku berada. Di sebuah taman kecil, duduk di kursi panjang di tengah taman ini. Menahan rintik hujan yang mulai membasahi bumi.

Taman ini sudah sepi, akibat rintik hujan. Aku sendiri di sini, menangis masih tanpa suara. Aku menengadah ke langit, agar hujan tepat menyejukkan wajah, setidaknya rintik hujan yang mulai membasahi wajah, akan menutupi air mata yang tak berhenti mengalir.

Harusnya aku siap untuk sakit hati setelah percaya padamu.

"Menangis tanpa suara, hanya akan membuat lukamu semakin dalam." Sebuah suara terdengar tak jauh dari tempatku duduk. Dengan segera aku mengusap air mataku kasar, meski sebenarnya tidak terlihat karna rintik air hujan.

Aku menoleh ke asal suara, sebuah wajah yang nampak tak asing berdiri di sana.

"Ka_kau?" ucapku terbata. Pria itu tersenyum kecil, lalu berjalan mendekat dan duduk tepat di sampingku.

"Jika ingin menangis, menangislah. Kadang tangisan justru dapat meringankan beban. Tapi jika menangis tanpa suara, sebaiknya tidak usah menangis. Itu hanya akan membuat dada semakin sesak." Aku masih terdiam, fikiranku tak dapat menangkap sosok pria ini.

"Kau lupa denganku, Ri?" tanyanya setelah duduk dan menatap lurus ke depan tanpa menolehku. Wajahnya tak asing tapi, aku belum bisa ingat siapa pria ini. Aku terdiam masih mencoba mengingat.

"Kak Kevin?" tanyaku saat aku menyadari bahwa pria ini adalah Kak Kevin. Seniorku dulu saat SMP dan SMA.

"Ternyata kau masih ingat, Ri?" Dia tersenyum simpul. Hanya dia yang memanggilku dengan 'Ri'.

My Household [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang