Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran Yoseph. Andai saja papa masih ada, tentu saja aku bisa memohon untuk membatalkan ini. Tapi sebaliknya papa sudah tidak ada, bahkan untuk memastikan saja tidak bisa. Tapi, mama juga tidak mungkin membohongiku.
Aku sudah kembali ke rumah. Pertemuan singkat dengan Yoseph tidak membuahkan hasil apapun. Mama belum kembali dari butiknya.
Aku memilih duduk di sofa untuk menunggunya setelah selesai mandi. Kira-kira pukul enam, kudengar suara mobil mama yang sudah memasuki garasi. Pintu sengaja tidak kukunci."Mama pulang." Suara mama dari balik pintu. Aku tidak menjawabnya. Mulutku bungkam. Mama akhirnya duduk di sampingku meraih tanganku.
"Ta, gimana? Apa sudah kamu pikirkan?" Mama mulai bertanya.
"Apa yang kupikirkan, Ma?" Aku bertanya balik. Mama terdiam menghela nafas tak menjawab.
"Ma, Mama tau kan? Ita nggak suka sama Yoseph. Mama tau kita cuman temenan," kataku akhirnya melihat Mama yang sedikit terlihat putus asa.
"Iya, Mama tau. Tapi ini keinginan mendiang papa. Apa kamu tidak ingin mengabulkannya?"
"Aku tidak bisa bertanya sama papa, apa benar ini permintaannya atau bukan," kataku seakan tak percaya.
"Jadi, menurutmu Mama bohong?" tanya mama dengan nada kecewa. Aku terdiam sejenak.
"Mah, apa nggak boleh ini dibatalkan saja?" pintaku sambil memegang tangan mama seraya memohon.
"Ta, andai ini bukan permintaan papamu, Mama akan biarkan kamu memilih semaumu. Tapi ini ..."
"Mah, Yosh juga tidak mencintai Ita. Apa Mama rela Ita harus hidup dengan orang yang tidak mencintai anak Mama?"
"Cinta bisa tumbuh setelah kalian hidup bersama." Mama mencoba meyakinkanku. Aku mendesah gusar. Mana ada kisah seperti itu. Itu hanya ada dalam kisah novel atau hanya khayalan. Itu yang ada dibenakku.
"Mama juga tau Yosh pacarnya Laras," kataku dengan nada lemah.
"Itu urusan mereka menyelesaikannya. Bukan kita. Bagian kita hanya kamu, Ta. Kalo kamu setuju sisanya bagian mereka." Mama kini menatap mataku. Tak kuasa aku melihat mata sayunya seakan memohon.
"Lalu bagaimana dengan ...."
"Sudah Ta, sebaiknya kamu jangan terlalu lama lagi memikirkannya." Mama mulai beranjak dari sofa sedang aku masih menunduk menutupi air mataku yang mulai membasahi wajahku.
***
Dua minggu berlalu. Aku belum juga memutuskan jawabanku atas perjodohan itu. Hatiku gusar, aku sama sekali tidak mencintai pria itu, dan aku tahu pria itu juga tidak.
Hanya saja aku tidak mengerti mengapa dia tidak menolaknya. Setidaknya membantuku. Kalau kami sama-sama menolaknya, pasti akan lebih mudah meyakinkan orang tua kami. Belakangan ini pikiranku pun kurang fokus. Kuraih ponselku yang bergetar di sakuku.
"Sibuk?" Isi sebuah chat terpampang di ponselku. Hatiku sedikit tenang mendapati pesan itu. Melupakan sejenak tentang perjodohan memuakkan itu.
"Tidak, lagi istirahat." Aku membalasnya. Aku menunggu beberapa saat hingga kudapati dia menelfonku. Segera kugesek tombol hijau itu.
"Kenapa?" tanyaku antusias.
"Tak boleh aku menelfon?" Aku tersenyum lebar.
"Tentu saja boleh," ungkapku.
"Apa kau tak merindukanku?" Ia bertanya lagi.
"Tidak." Tentu saja aku berbohong. Aku sangat merindukannya. Aku membutuhkannya sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Household [SEGERA TERBIT]
General FictionFOLLOW DULU SEBELUM BACA ❤️ Clarita harus berjuang mempertahankan rumah tangganya. Bukan hal yang mudah menjalani pernikahan yang tidak didasari cinta, apalagi suaminya adalah mantan dari sahabatnya sendiri. Tapi Clarita tahu bahwa semua sudah menj...