Bagian 22. Dua puluh empat

1.8K 79 30
                                    

#Happy reading

Jangan lupa mendukung penulis dengan vote 🥰

🍀🍀🍀

Aku sudah tiba di rumah, berberes, masak untuk makan malam dan mandi. Aku memutuskan untuk menunggu Yosh buat makan malam bersama. Aku menonton tv di ruang utama.

Kulirik jam yang ada di tanganku. Sudah lewat jam 7. Perutku sudah keroncongan. Akhirnya kuputuskan untuk makan lebih dulu.

Nanti Yosh bisa nyusul, pikirku.

Sembari menikmati makan malam sendiri, aku memikirkan Yosh. Kira-kira masalah apa? Kenapa tiba-tiba? Ya iyalah, masa masalah bilang-bilang dulu baru datang? Maksudku ini hari libur, biasanya Yosh membebaskan diri dari setiap pekerjaan waktu libur.

Apa masalahnya sangat serius? Masalah pekerjaan apa yang bisa membuat Yosh sampai sepucat tadi?
Yosh memang sibuk dengan pekerjaannya, tapi percayalah dia orangnya tidak terlalu ambil pusing. Dan biasanya, dia pasti bisa kelarin masalahnya dengan mantap tanpa harus pusing apalagi membuatnya tidak enak badan.

Akh, memikirkannya saja membuatku tidak selera makan. Cacing di perut yang tadi meronta memohon makanan pun kini sudah anteng.

Sudah jam 8 kurang, Yosh belum pulang juga. Kekhawatiran pun mulai muncul. Kuambil ponselku yang sedari tadi ku-charg. Aku memutuskan untuk menelfonnya.

"Hallo." Suara dari seberang setelah beberapa kali nada tanda tersambung terdengar.

"Halo, Yosh. Kamu dimana? Kok lama? Ini udah malam. Masalahnya belum selesai juga?" cerocosku.

"I_iya, Ta. Ini aku mau pulang kok." Suaranya terdengar sedikit gugup.

"Kenapa, Ta?"

Hah? Dia tanya kenapa? Bisa tidak dia sedikit peka? Ya aku khawatirlah.

"Em, nggak apa-apa kok. Heran aja, kamu jangan kemalaman pulangnya."

"Ohh, iya iya. Oh ya, kalo kamu udah ngantuk, nggak apa-apa tidur duluan. Aku bawa kunci kok."

"Oh, ya udah deh." Telfon terputus. Aku berjalan gontai ke kamar. Entah kenapa, ada rasa kecewa saat dia bertanya kenapa bahkan menyuruhku untuk tidur.

Yosh mungkin tidak akan pernah mengerti perasaanku sekarang, dan tidak akan mengerti bahwa aku khawatir.

Aku mengunci pintu kamarku dan berjalan ke kasur. Berbaring, menarik selimut dan memejamkan mata.

🍀🍀🍀

Tok tok tok

Kudengar ada yang mengetuk pintu kamarku saat aku sudah mulai masuk ke alam mimpiku. Dengan berat aku membuka mata yang terasa perih momohon untuk tetap terpejam.

Tok tok tok

Aku mendengarnya lagi. Jantungku berdegup kencang. Yang mengetuk sama sekali tidak bersuara. Bulu kudukku seketika meremang.

Kalau itu Yosh, kenapa dia harus mengetuk pintuku. Harusnya dia langsung tidur saja. Kalau memang ada yang perlu, harusnya diikuti suara memanggilku. Tapi ini hanya suara ketukan pintu, tapi kalau pencuri, ngapain dia ketuk pintu? Harusnya dia melanjutkan aksinya tanpa mengganggu empunya rumah. Shitt. Pikiranku membuyar saat ketukan pintu itu kembali terdengar.

Aku bangkit dari tidurku, turun dari kasur. Berjalan sepelan mungkin agar tak menimbulkan suara. Aku mengambil kemoceng yang terletak di meja. Demi apapun, Kenapa kemoceng?

Karena memang tak ada apa-apa di kamarku yang bisa kugunakan untuk melindungi diri. Alhasil kemoceng menjadi satu-satunya pilihan.

Aku berjalan mengendap-endap ke arah pintu. Lagi-lagi aku mendengar ketukan lagi.

My Household [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang