Bagian 7. Rumah baru

2.7K 110 10
                                    

Happy reading guys

Pagi ini aku membantu mama menyiapkan sarapan, juga seorang pelayannya. Mama tersenyum ke arahku saat kami asik memasak.

Aku akhirnya mengundurkan diri dari rumah sakit setelah aku menyetujui pernikahan ini. Ini permintaan mama Indri secara pribadi untukku yang didukung penuh oleh mama. Aku tidak bisa menolaknya, katanya aku cukup menjadi istri yang berbakti pada suami.

Hufft, suami.

Batinku seakan menolak menyebut pria itu suamiku. Bagaimana tidak, perasaan diantara kami tak sehat. Aku mulai menata setiap makanan di atas meja makan. Untunglah aku sedikit tahu-menahu tentang memasak. Bukankah ini bisa menjadi kesibukanku dibalik label istri yang baik?

Tak lama papa dan Yosh yang mendorong kursi rodanya menghampiri meja makan. Yosh sudah berpakaian rapi bersiap ke kantor.

Ya, yang memimpin perusahaan itu sekarang adalah Yosh semenjak kecelakaan yang merenggut nyawa papa dan membuat papa Santoso harus menggunakan kursi roda itu.

"Selamat Pagi!" Mama menyapa sepasang ayah dan anak itu. Mereka tersenyum. Yosh duduk di sampingku. Kuakui kami harus tetap bersikap layaknya suami isteri di depan mama dan papa.

"Wah, ini enak. Tak seperti biasanya. Pasti bukan masakan mama." Papa menebak saat menikmati sup kepiting buatanku.

"Iya Pa, ini buatan menantu kesayangan Papa. Mungkin setelah ini Papa tidak akan menyukai masakan Mama lagi." Mama sedikit cemberut sekarang. Aku hanya tersenyum geli sedang papa dan Yosh terbahak.

Baiklah, Yosh tertawa sekarang. Hatiku sedikit tenang. Tidak tidak, aku tidak menyukainya secepat itu. Tapi setidaknya batinnya tak tersiksa memperisterikan aku.

Pendapat orang-orang yang mengatakan tinggal dengan mertua adalah hal yang sulit membuatku tidak setuju. Melihat hangatnya keluarga ini, aku sedikit bersyukur menjadi bagian keluarga mereka sebelum aku kembali menyadari bahwa aku dan Yosh tidak saling mencintai.

"Kenapa, Ta?" Papa bertanya saat menyadari bahwa aku melamun.

"Emm, nggak apa-apa, Pa," jawabku sedikit kaget. Lalu kembali menikmati sarapan.

***

"Kamu harus segera memberi cucu untuk kami, Ta." Omongan Mama mengagetkanku saat kami sedang membersihkan peralatan makan tadi pagi. Anak atau cucu yang mereka impikan adalah hal yang belum pernah kupikirkan.

"Ehm, iya Ma." Aku jawab asal. Aku tak mau membahas ini terlalu lama.

"Ada telfon, Ma," sambungku saat mendengar bunyi ponsel mama. Mama meraih ponselnya dan berjalan menjauh dariku.

Hufft, ini sedikit membantu mengalihkan pembicaraan. Aku melanjutkan pekerjaan yang tertinggal.

"Ta, Mama keluar sebentar." Mama sedikit berteriak dari luar sekarang. Aku menghampiri ke arah suara dan mencium tangan Mama tanpa bertanya kemana.

Aku merebahkan tubuhku di ranjang setelah pekerjaan tadi. Aku sedikit bosan.

Seharusnya aku tidak perlu mengundurkan diri.

Aku menyadari bahwa tak punya pekerjaan di luar terasa membosankan.

Aku mengedarkan pandanganku ke setiap sudut kamar ini. Photo pernikahanku dengan Yosh terasa sempurna. Tak terlihat bahwa kami hanya terpaksa. Telunjukku mengetuk perlahan photo ini dan kembali melihat-lihat sekeliling. Sampai aku membuka sebuah laci kecil nakas.

Kutemukan photo masa kecil Yosh di sana. Salah satunya photo kami bertiga. Aku, Yosh dan papa (Alvian). Aku tersenyum kecil.

Mungkin Yosh tak membenciku sebesar itu. 

Aku kembali mengacak-acak laci itu sampai kudapati photonya bersama Laras.

Aku menghela nafas panjang. Sedikit berpikir kenapa aku memiliki hubungan yang rumit. Kegiatanku terhenti saat ponselku berbunyi.

"Iya, Ma? Kenapa?" Telfon dari Mama.

"Ita datang ke sini ya? Sebentar Mama kirimkan alamatnya." Mama menutup telfon dan tak lama kudapati pesan singkat berisikan alamat dari Mama.
Aku langsung memesan ojol sambil bersiap-siap.

Aku menuruni anak tangga setelah mendapat panggilan dari supir ojol yang mengatakan bahwa ia sudah menunggu di depan rumah. Aku setengah berlari keluar setelah pamit ke Bu Desi.

Kira-kira setengah jam aku tiba di alamat yang dikirimkan mama. Anehnya mama (Febi & Indri), Yosh dan papa juga sudah di sana. Mama Feby yang sudah menungguku langsung menarikku. Mengajak aku melihat-lihat sekeliling rumah 2 lantai yang tampak berkelas ini dilengkapi dengan desain interior yang mewah. Tampak indah, ada taman kecil di depannya menambah kesan asri di rumah ini.

"Gimana? Bagus?." Mama Indri bertanya. Aku mengangguk. Ini bahkan lebih luas dari rumah kami dulu.

"Kamu suka?" Mama Indri lanjut bertanya. Aku menghentikan aktivitasku memandangi tempat ini. Aku kemudian beralih memandang Mama karena sedikit bingung dengan ucapannya.

Mama tersenyum dan meraih tanganku.

"Ini rumah barumu, Ta. Bersama Yoseph." Aku membulatkan mataku tanda kaget. Aku baru saja menikah dengan Yosh dan sekarang kami tinggal di rumah yang berbeda? Yah, rumah ini sudah siap untuk dihuni. Perlengkapannya semua sudah tersedia dan tersusun rapi.

"Maksud, Mama?"

"Ini hadih pernikahanmu." Aku melirik ke arah Yosh yang berdiri memegangi kursi roda Papa. Tatapannya masih dingin padaku. Aku mengerti aku tidak bisa berdiskusi dengannya.

Tit tit..

Kudengar suara klakson mobil Honda jazz berwarna Rallye Red terparkir di halaman rumah ini. Pengemudi turun dan menyerahkan kuncinya kepada papa.

"Dan ... "

"Mobil baru untukmu," sambung papa dengan nada semangatnya mendorong sendiri kursi rodanya mendekatiku dan beralih menyerahkan kunci mobil itu padaku.

Aku sedikit berjongkok. "Ini berlebihan, Pah," ucapku protes dengan hadiah ini.

"Tidak ada yang berlebihan, sayang." Papa menggenggam erat tanganku.

"Kamu udah seperti putri papa sendiri. Masa putri Papa harus mesan taxi online setiap keluar sih?" sambungnya. Aku menatap mama (Feby) yang juga sedikit takjub dengan semuanya. Ia tersenyum. Sebuah keyakinan terpancar di wajahnya bahwa aku akan bahagia.

"Trimakasih, Pa," ucapku akhirnya dan memeluk papa. Papa tersenyum dan mengusap rambutku. Kurasakan kehangatan seorang ayah sekarang setelah kepergian papa.

"Ingat! Hadiahkan kami cucu juga," kata papa yang membuat semua orang di sini tertawa kecuali aku dan Yosh. Aku hanya memilih tersenyum sedang Yosh memilih mengalihkan pandangan seolah tak mendengar. Dalam sehari saja aku sudah mendengarnya dua kali.

***

"Kamu bisa pakai kamar ini, aku yang di sebelahnya." Ucapan pertama Yosh sesaat setelah orangtua kami pergi meninggalkan rumah baru ini. Mereka sudah membantu kami pindahan. Rumah ini memiliki 5 kamar. 3 kamar di lantai bawah dan 2 kamar di lantai atas.

Imperfect. Baiklah, Ta. Kau punya semuanya sekarang kecuali hati suamimu.

Aku memasuki kamar yang menjadi bagianku dan merebahkan diri karena kelelahan berberes sepanjang hari.

Aku memang belum mencintai suamiku, dan cintanya juga masih untuk orang lain. Tapi aku akan berusaha mencintainya sekarang. Aku tak berharap pernikahan kami akan berakhir nanti.
Bukankah perubahan harus dimulai dari diri kita? Maka suatu saat dia juga akan berubah mencintaiku.
Aku harus bahagia, menjadi pribadi yang tegar. Meski tak sesuai harapanku aku mau sedikit percaya bahwa ini yang terbaik.
~Tekadku

.
.
.
.

#Trimakasih sudah meluangkan waktu membaca ceritaku yang sebenarnya kurang bermutu 😆

Semoga suka dan maaf kalau tidak suka.

Pleasa vomentnya 🙏

My Household [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang