Bagian 2. Hidup tanpa Papa

4.7K 174 19
                                    

"Ayo pulang, Sayang!" kata mama dengan suara berat sambil mengulurkan tangannya ke arahku. Aku masih saja duduk di dekat tanah pusaran papa.

Kakiku sepertinya tak kuat untuk melangkah menjauh darinya. Aku cukup dekat dengan papa, aku merasa kurang adil ketika aku tak bisa melihat papa menghembuskan nafas terakhirnya semalam.

Harusnya aku berada di sampingnya waktu itu. Kusentuh nisan papa dan berbisik dalam hati aku akan sangat merindukanmu. Aku akhirnya meraih tangan mama dan mencoba untuk berdiri.

Mama tersenyum melihatku dengan matanya yang sedikit sembab. Aku tahu dia pura-pura kuat untukku, walau sebenarnya dia sangat rapuh. Kakiku tergopoh untuk melangkah menjauh dari pusaran papa.

Om Santoso dan tante Indri yang mendorong kursi roda suaminya mengikuti kami dari belakang. Mereka sangat membantu kami dalam mengurus pemakaman papa. Om Santoso memang sangat baik, ditambah dia adalah sahabat papaku sejak kecil. Mereka sudah seperti saudara.

Tak berapa lama kami akhirnya sampai di rumah. Aku melihat Laras, Yosep, Roy, dan Widya sudah menungguku di halaman rumahku. Laras dan Widya berlari ke arahku sambil memelukku. Tak sepatah katapun keluar dari bibir mereka. Aku tahu mereka memahami perasaanku saat ini. Aku mencoba tersenyum. Yosep juga menjabat tanganku. Dan terakhir Roy, dia memelukku dan mengusap lembut rambutku.

"Terima kasih kalian sudah datang," kataku singkat. Aku meninggalkan mereka dan masuk rumah. Aku membuka pintu dan mengedarkan pandangan ke sekeliling rumahku.

Biasanya ketika aku pulang, orang yang pertama menyambutku adalah papa. Sekarang berbeda, papa sudah kembali kepada Tuhan. Air mataku kembali jatuh membasahi pipiku. Mama dan teman-temanku akhirnya mengikutiku masuk ke rumah.

Aku mengusap air mataku agar mereka tidak menyadarinya. Aku memasuki kamarku dan meraba-raba fotoku bersama papa dan mama. Aku kembali sesegukan menahan tangis.

Aku keluar setelah mendengar teman-temanku berpamitan pada mama.

Kupandangi mereka yang berjalan ke halaman rumah, sampai tak terlihat lagi. Aku memeluk mama yang menggenggam tanganku. Tinggal aku dan mama sekarang di rumah ini.

***

Satu bulan sudah kami kehilangan papa. Aku dan mama harus melanjutkan hidup. Menerima kenyataan bahwa papa tidak ada lagi bersama kami. Mamaku memiliki sebuah butik. Percayalah ini tak semewah yang kalian pikirkan. Hanya sebuah toko kecil, yang menjual pakaian wanita dan anak-anak.

"Gimana, Ta? udah ada yang nerima belum?" tanya mama saat kami sedang menonton setelah menyantap makan malam. Saat ini aku memang sedang mencoba mencari pekerjaan.

Puluhan lamaran kerja sudah aku layangkan ke beberapa rumah sakit, namun sampai sekarang aku belum juga diterima.

"Belum, Mah," jawabku singkat.

"Ya udah, nggak apa-apa, Sayang, yang penting kamu harus terus berusaha jangan putus asa ya!"

"Iya, Ma, tenang aja. Lagian Ita masih 1 bulan kan nganggurnya. Eh, nggak nganggur deh, kan Ita bantuin di butik mama." Kami pun tertawa kecil.

"Ya udah, kita tidur aja yuk, Sayang, udah larut. Takutnya besok kesiangan, kan harus ke butik," kata mama seraya beranjak dari sofa.

***
Pagi ini aku bangun lebih awal untuk mempersiapkan sarapan dan bekal untuk dibawa ke butik mama. Aku sengaja tidak membangunkan mama karena aku tahu mama cukup lelah belakangan ini.

My Household [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang