Bagian 9. Arti Pernikahan

2.3K 110 12
                                    

#Happy reading

Aku meraih liontin dari sana. Senyuman terukir di bibirku kala memgingat kejutan dari Roy. Tanpa berpikir panjang aku kembali memakai liontin itu, menarik selimut dan aku pun tertidur.

***

Alarm ponsel yang kupasang sudah berbunyi. Memaksaku untuk membuka mata yang sebenarnya masih perih memohon untuk tertutup sebentar lagi.

Mimpi indah bertemu papa seakan masih membujuk untuk kembali terlelap. Bagaimana tidak, aku sangat merindukannya.

Tapi aku mencoba memaksanya terbuka dengan mengucek bola mataku dengan kedua tanganku. Dengan langkah berat aku beranjak ke kamar mandi, membersihkan diri dan melakukan aktivitasku.

Seperti biasa aku akan memasak untuk sarapan pagi ini, setelah itu aku menyiapkan baju kantor Yosh untuk dipakai hari ini.

"Udah bangun?" tanyaku pada Yosh yang sudah keluar dari kamarnya. Sebentar dia menatapku dan kemudian meraih baju kantor yang ada di tanganku tanpa menjawab pertanyaanku dan kembali ke kamarnya. Aku hanya menghela nafas.

Mungkin belum sepenuhnya sadar.

Aku kemudian melanjutkan kegiatan berbenah rumah.

"Aku berangkat." Yosh pamit setelah keluar dari kamar lengkap dengan tas kantornya.

"Loh, nggak sarapan dulu Yosh? Aku udah masak." Aku mencoba menghentikannya untuk mengisi perutnya di pagi ini.

"Nggak usah. Aku sarapan di kantor aja," jawabnya ketus yang membuatku bingung. Padahal semalam semua terlihat baik-baik saja.

Walaupun saat baru tiba di rumah Yosh seperti mengabaikanku, tapi dia akhirnya datang dan menghabiskan masakan mama. Bukankah ini aneh? Ini pertama kali dia tidak sarapan di rumah setelah kami menikah.

Sudah kubilang biarpun rumah tangga ini tidak harmonis tapi gak sering cekcok juga. Begitu sebaliknya. Ibaratnya pernikahan kami hanya sebuah topeng mungkin.

"Oh ya, nanti malam juga nggak usah masak. Aku makan diluar," sambungnya lagi dan berlalu keluar rumah meninggalkanku dengan sapu yang masih di tangan dengan ekspresi bingung.

Kudengar suara mobilnya yang melaju keluar pekarangan rumah ini. Aku akhirnya pergi untuk menutup kembali pagar.

Aku kembali dan berjalan ke dapur setelah menyelesaikan acara berbenah rumah. Aku menatap makanan malang ini yang bahkan belum disentuh. Sebenarnya kenapa? Akh mungkin pekerjaan di kantor sedikit padat. Jadi dia harus cepat.
Aku duduk, menyendok makanan ke piring dan mulai menikmati sarapan sendiri.

Sampai kapan menjalani rumah tangga seperti ini? Tanpa ada perasaan. Kutatap lekat photo pernikahan yang tampak indah di ruang utama ini. Mungkinkah perasaan kami berubah?

***

Tit...tit..tit...

Suara klakson mobil yang cukup dekat membuyarkan lamunanku. Sepertinya berada di depan rumah. Yosh tidak mungkin pulang secepat ini. Aku berjalan ke arah pintu, mengintip sedikit dari jendela depan rumah setelah menyibak sedikit tirainya. Oh ya ampun itu mama Indri. Aku segera keluar untuk membukakan pagar rumah.

"Kok lama sih, Ta?" tata Mama setelah aku membuka pagar dan mama memarkirkan mobilnya di halaman.

"Maaf, Ma. Ita pikir tadi entah siapa. Mama kok nggak bilang kalo mau datang?" Membantu Mama membuka pintu mobil dan mencium punggung tangannya.

"Loh, emang Mama harus izin dulu kalo mau ke rumah anak Mama?" kata mama dengan sedikit nada yang tidak bisa kuartikan dan turun dari mobil dengan membawa bungkusan di tangannya.

Aku tidak menjawab dan mama memilih langsung masuk ke rumah dan duduk di sofa, meletakkan bungkusan bawaannya di atas meja.

"Bentar ya, Ma. Ita buatin Mama minum." Aku izin ke belakang tanpa ada jawaban mama.

Kenapa tiba-tiba ya?

Aku mulai bertanya-tanya alasan Mama datang tanpa pemberitahuan.

Tak lama aku kembali dengan segelas teh hijau kesukaan mama dan menyodorkannya ke mama. Entah kenapa aura mama sedikit berbeda hari ini.

"Gimana khabar Papa, Ma? Kok nggak ikut?" tanyaku yang sekarang sudah duduk di sofa dekat mama.

"Sehat. Papa masih istirahat tadi, jadi nggak ikut."

"Jadi gimana, Ta? Udah ada khabar?" Mama bertanya setelah meneguk teh hijau itu.

"Khabar apa, Ma?" Aku balik bertanya karena sungguh aku tidak mengerti apa maksud pertanyaan itu.

"Khabar kalo kamu hamil." Mama terang-terangan.

"Emm..emm." Aku gugup.

"Jadi belum? Ini udah hampir setengah tahun loh, Ta. Masa belum ada? Kalian periksa gih!!" Nada Mama sedikit naik.

"Ita! Mama, papa juga mama kamu udah nggak muda. Udah saatnya menimang cucu." Aku meneguk salivaku tak berani menjawab.

"Kalo belum, kalian usaha dong. Ke dokter ke' periksa," lanjut mama yang membuat aku bungkam. Setiap ucapan mama seperti tusukan di dadaku. Aku merasakan sedikit sesak sekarang. Mama mendesah pelan sepertinya kesal.

"Kalo Mama ngomong ya dijawab dong, Ta." Aku menegakkan kepalaku karena sedikit kaget dan mencoba menatap mama karena sedari tadi kepalaku memang tertunduk.

Telingaku agak panas sekarang mendengar ocehan mama. Seandainya mama tahu alasan paling kuat kenapa aku belum mengandung sekarang. Terlihat wajahnya yang kesal.

"I_iya Ma. Maaf. Mungkin belum dikasih Tuhan aja kok, Ma," jawabku dengan nada terbata.

Mama hanya berdehem. "Ini ada jamu, siapa tau manjur." Mama mengambil bungkusan yang tadi ada di meja dan menyodorkannya padaku. Aku menerimanya tanpa melihat isinya.

"Jangan lupa diminum dan beri juga untuk Yosh. Rutin. Anggap ini salah satu usaha. Dan ingat kalian harus tetap ke dokter untuk pemeriksaan. Jangan kecewain mama. Ini jamu susah dapatnya."

Aku mengangguk. "Trimakasih, Ma."

"Ya udah, Mama pulang dulu. Mama cuman mau ngasih itu. Mama dan papa cuman pengen segera menimang cucu. Mama harap kamu mengerti," kata mama sambil menggenggam kedua tanganku yang bertautan dan akhirnya izin pulang.

Aku mengantar mama ke mobilnya dan kembali ke rumah setelah memastikan mobil mama hilang di ujung jalan. Aku kembali duduk dan menatap bungkusan itu.

Setiap ucapan mama mulai menari-nari di kepalaku membuatku pusing. Aku tidak tahu harus berbuat apa.

Logikanya begini, mau periksa 100x pun, mau diobatin 1000x pun atau mau minum jamu penyubur ini sebanyak apapun, ya nggak bakalan dapat hasil kalau nggak pernah dibuahi. Benar kan? Apa aku salah?

Atau bayi tabung? Pikiranku mulai tidak pada jalurnya. Aku menggelengkan kepalaku.

Aku tertawa jengkel mengeluarkan satu-persatu jamu itu dan menaruhnya di meja. Sejenak aku mengingat raut wajah mama tadi. Berubah. Itu yang ada di benakku.

Tapi aku kembali menepis pikiranku.
'Mama hanya kebelet ingin punya cucu.' Batinku.

Tapi bagaimana aku akan mewujudkan keinginan mereka? Seandainya mereka tahu bahwa perasaan diantara kami tak memungkinkan untuk mendapatkan harapan mereka.

Mereka tidak akan pernah mengerti kondisi sebenarnya. Tidak mungkin, kan, aku kasih tahu ke mama bahwa aku dan Yosh bahkan tidak tidur sekamar. Bukankah itu hanya akan mempermalukan diri sendiri nanti?

Arghh, ini membuatku kesal. Kulemparkan pembungkus jamu-jamu tadi. Meninggalkannya di meja dan masuk ke kamarku.

Merebahkan diri di kasur empuk ini dan menatap nanar ke langit-langit kamarku.Terbersit di benakku sebenarnya apa arti pernikahan? Apakah semua hanya tentang anak?

#Trimakasih sudah membaca

Please follow, pasti di follback..
Vomentnya juga ya 🙏

Don't be a silent reader please 🙏

My Household [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang