#Happy readingKulemparkan pembungkus jamu-jamu tadi. Meninggalkannya di meja dan masuk ke kamarku. Merebahkan diri di kasur empuk ini dan menatap nanar ke langit-langit kamarku.Terbersit di benakku sebenarnya apa arti pernikahan? Apakah semua hanya tentang anak?
***
Aku membuka mataku karena merasakan hawa dingin, tersadar ternyata aku ketiduran. Kulirik jam di tanganku, sudah pukul 17.45. Aku menepuk keningku dan beranjak dari kasur magnet ini.
Terdengar rintik hujan di luar sana. Hawa dinginnya semakin terasa. Aku mengambil sweater biru dari lemari. Segera memakainya karena dinginnya mulai menusuk kulitku.
Perlahan aku keluar dari kamar dan kudapati Yosh sudah ada di sofa.
Dasar kebo. Masa nggak dengar suara mobil Yosh?
Yosh langsung beranjak dari duduknya menyadari aku yang keluar kamar.
Dikiranya hantu kali ya? Kenapa dia sepertinya menghindariku?
Aku hanya menatapnya yang berlalu memasuki kamar tanpa memperdulikan aku.
Aku memang tidak masak untuk makan malam ini. Lagi pula Yosh sendiri yang bilang padaku, atau jangan-jangan dia begini karena aku tidak masak?
Tidak, tidak. Aku tidak peduli. Aku hanya menuruti perintah suami. Sekalian sejalan dengan kemalasanku.
Aku memilih duduk di sofa memandangi jamu yang sedari tadi sengaja tidak kubereskan.
Biarkan Yosh melihatnya sendiri. Itu yang ada dalam fikiranku.
Yosh keluar dari kamar sepertinya menuju dapur. Entah haus, aku tidak tahu. Yang jelas bukan untuk makan. Mau makan pun, takkan dia temui makanan di sana. Mungkin hanya cemilan di dalam lemari es.
Sekembalinya dari dapur, dia langsung saja berjalan ke arah kamarnya.
Oh, God. Suami macam apa ini? Apa dia tidak menganggapku?
"Yosh!!" Aku memanggilnya. Membuat dia berhenti setelah tangannya tepat berada di gagang pintu kamarnya. Ia tak menjawab memilih berdiri di tempatnya mematung.
"Boleh bicara?" Ia akhirnya membalikkan badan, berjalan pelan dan duduk di sofa. Aku menarik nafas lalu membuangnya perlahan bersiap untuk bicara.
"Ada apa?" Tanya Yosh. Sepertinya terlalu lama menunggu aku bicara.
"Em, bagaimana menurutmu tentang ini?" Aku menunjuk jamu-jamu yang ada di meja dengan daguku.
"Apa?" Aku memutar bola mataku jengah. Emang mesti ya, aku jelaskan ini jamu-jamu penyubur. OMG. Bukannya dia udah lihat tadi? Aku tak menjawab, kubiarkan dia berpikir.
"Apa kau yang membelinya?" What? Kenapa dia mesti berfikir kalau aku yang membelinya? Dia fikir aku kebelet pengen punya anak?
"Ya nggaklah, ini mama yang beliin," jawabku untuk memastikan dia tidak berfikiran aneh. Dia kemudian terdiam.
"Yosh?!" Aku kembali memanggilnya. Dia hanya berdehem. Aku harus gimana bilangnya? Aku kehabisan kata-kata.
"Ada apa?" Dia bertanya lagi.
"Bagaimana menurutmu tentang anak?"
Glekk. Aku menelan salivaku setelah mengatakan hal itu. Dia tersenyum menyeringai. Ekspresi macam apa itu? Ia bersandar ke sofa menjadikan kedua tangannya bantalan kepala dan duduk bersila. Tak mengatakan apa-apa. Apa aku harus mengulang perkataanku?
"Yosh!!" Lagi-lagi aku memanggilnya. Karena dia tak meresponku.
Dia bangkit berdiri berjalan perlahan mendekatiku. Tatapannya sangat tajam dan dingin membuatku sedikit merinding. Yosh semakin dekat. Wajahnya semakin dekat dengan wajahku, Aku bisa merasakan deru nafasnya sekarang.
Ia menatap sebentar leherku dan menggerakkan kedua matanya melihat sekujur tubuhku. Reflek aku menyilangkan kedua tanganku menutupi dadaku.
Ayolah, aku belum siap untuk itu. Tapi, Yosh malah kembali menyeringai dan memalingkan wajahnya seakan jijik dengan tingkah reflekku. Aku menatapnya heran.
Yosh kembali menatapku tajam.
"Jangan harap!" Kata-kata itu keluar dari mulutnya."Ma_maksudmu apa?" Aku terbata.
"Aku takkan pernah menyentuhmu. Bahkan tubuhmu tak layak untuk kusentuh."
Duarrr. Bagai petir di siang bolong. Perkataannya sungguh tajam. Kedua mataku rasanya panas. Ingin menangis.
Tidak, tidak. Aku tidak boleh menangis di hadapan pria breng*** ini. Kurasakan wajahku memerah sekarang. Jantung berdebar tak karuan. Aku mengepalkan kedua tanganku menahan emosi.
"A_apa maksudmu?" Dia tertawa. Tawanya jahat. Melecehkan mungkin, dan berdecak.
"Kau orang munafik. Paling munafik yang pernah kukenal," katanya dan kemudian berbalik meninggalkan aku melenggang pergi masuk ke kamarnya dengan suara bantingan pintu yang lumayan kuat.
Aku tak dapat menahan lagi. Aku ingin memakinya sekarang. Air mataku akhirnya jatuh perlahan dari sudut mataku.
Kututup mulutku dengan tanganku agar tak terdengar oleh pria yang menjadi suamiku itu.
Aku beranjak dari sofa, dan masuk ke kamarku. Hujan, akhirnya hujan deras. Meskipun ini hal yang menyakitkan aku bersyukur malam ini hujan. Aku bisa menangis sepuasku di kamar yang sepi ini.
Suara hujan yang menyentuh atap rumah ini, akan menutupi suara tangisan wanita malang ini.
Apa ini Tuhan? Untuk inikah aku menikah?
Untuk inikah papa, mama menjodohkanku dengan pria itu? Tidak, tidak.Papa salah, mama salah menjodohkan aku dengannya. Mama salah berfikir aku bahagia. Mama sangat salah.
Sekarang bagaimana aku akan melanjutkan bahtera ini? Aku rasa ini tidak akan lancar jika hanya aku yang berusaha. Apa yang akan terjadi padaku, Ma?
Kembali teringat akan jamu-jamu yang belum kubereskan itu. Aku kembali keluar kamar. Dengan penuh amarah kukumpulkan semua jamu itu dan memasukkannya ke bungkusan tadi.
Perlahan aku keluar dan menuju tong sampah. Hujannya deras. Aku kembali untuk mengambil payung dengan bungkusan itu masih di tanganku.
Berjalan di derasnya hujan dan kulemparkan jamu-jamu itu ke tong sampah.
"Aku tidak membutuhkanmu," kataku masih dengan terisak. Aku berbalik meninggalkan jamu-jamu itu di tong sampah berjalan perlahan ke rumah. Tapi..
"Jangan lupa diminum dan beri juga untuk Yosh. Rutin. Anggap ini salah satu usaha. Dan ingat kalian harus tetap ke dokter untuk pemeriksaan. Jangan kecewain mama. Ini jamu susah dapatnya."
Perkataan mama kembali melintas di benakku.
Kenapa Yosh tega mengatakan perkataan busuk itu? Dia bahkan sudah tahu jamu itu dibeli sendiri oleh mamanya. Harusnya dia sadar yang ngebet punya cucu itu mamanya.
Bia***. Kenapa aku bahkan tak bisa membuangnya?
Mama bilang susah dapat jamu-jamu itu. Lagi pula jamu itu tak bersalah. Aku kembali ke tong sampah itu. Memungut jamu malang itu.
Berjalan kerumah menuju dapur dan menyusunnya di lemari es. Aku mengutuk diriku sendiri yang bahkan tak tega membuang jamu ini.
Aku kembali ke dalam kamar masih dengan baju yang sedikit basah akibat percikan air hujan tadi. Terduduk di atas marmer yang bahkan dinginnya juga menemaniku. Kembali air mata ini membanjiri wajahku.
Aku benci diriku, benci lidahku yang kelu. Tak bisa menjawab atau memaki Yosh.
Aku bahkan tidak sekuat itu. Tidak bisa menahan air mata. Kata-kata Yosh seperti pisau tajam yang menusuk. Sampai membuat tulangku lemas tak berdaya.
🍀🍀🍀
#Thanks for reading
Jangan lupa voto dan comentnya
*Don't be a silent reader please 🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
My Household [SEGERA TERBIT]
General FictionFOLLOW DULU SEBELUM BACA ❤️ Clarita harus berjuang mempertahankan rumah tangganya. Bukan hal yang mudah menjalani pernikahan yang tidak didasari cinta, apalagi suaminya adalah mantan dari sahabatnya sendiri. Tapi Clarita tahu bahwa semua sudah menj...