Bagian 15. Kesempatan

2.5K 103 23
                                    


#Happy reading

I hope you enjoying it

.
.
.
.
.
.
.

"Kauuu!" Belum sempat tangan Papa mendarat di wajah Yosh, tangan papa seperti kaku tak bisa digerakkan lagi. Dan papa sudah sulit untuk mengungkapkan kata-katanya.

"Papa!!!!" Aku dan Yosh memanggilnya bersamaan setelah menyadari Papa kehilangan kesadarannya.

🍀🍀🍀

Kesehatan papa memburuk sekarang. Setelah Papa kehilangan kesadarannya. Yosh yang panik segera mengangkat tubuh Papa dari kursi rodanya. Berlari menuju mobil Papa yang terparkir di halaman.

Aku berlari mendahuluinya untuk membukakan pintu mobil Papa. Supir pribadi Papa kaget. Dia hanya berdiri di depan mobil itu. Mungkin Papa yang menyuruhnya tadi.

Setelah memasukkan Papa ke dalam mobil, Yosh berlari untuk mengemudikan mobil sedangkan supir tadi sudah masuk dan duduk di samping Yosh setelah mendengar perintah Yosh. Yosh segera melajukan mobil diatas kecepatan rata-rata.

Aku sudah duduk di kursi belakang menemani Papa. Mencoba menepuk-nepuk wajah Papa berharap Papa membuka matanya.

"Pah, bangun!" Kataku lirih. Buliran bening dari sudut mataku mulai menetes. Aku sangat menyayangi Papa Santoso, meskipun dia bukan Papa kandungku. Kasih sayangnya padaku bahkan sudah seperti seorang ayah untuk putrinya.

"Ayolah, Pa. Buka matamu," ktaku lagi.

Kulihat kepanikan menyelimuti Yosh. Klakson mobil selalu dia bunyikan apabila terjadi kemacetan sedikit saja.

"Ayolah, kumohon!" katanya tak berhenti membunyikan klakson. Setelah lepas dari kemacetan, Yosh kembali melajukan mobil dengan kecepatan tinggi.

🍀🍀🍀

"Suster, tolong!" Aku berteriak setelah mobil kami tiba dan berhenti tepat di depan rumah sakit yang kami tuju, sedang Yosh berlari dan mengangkat Papa dari mobil. Tak lama beberapa suster datang lengkap dengan ranjang pasien yang didorongnya.

Dengan sigap beberapa perawat membawa papa untuk segera di bawa ke ruang IGD.

Dokter yang menangani papa tak lama sudah tiba, dan kami dilarang untuk masuk.

Aku terus berdoa, semoga papa baik-baik saja. Yosh tak berhenti menangis, mengacak rambutnya. Kuperhatikan dia frustasi, menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dia kini terduduk di lantai.

Aku mencoba mendekatinya, mencoba membuatnya tenang, sedikit menepuk-nepuk punggungnya. Dan kutarik dia ke dalam pelukanku.

"Pasti papa baik-baik saja. Jadi tenanglah Yosh," kataku lirih. Dia membalas pelukanku. Dan menangis dalam dekapanku.

"Ini semua karenaku. Aku.. aku durhaka, Ita," Katanya dengan suara bergetar. Aku terus menepuk-nepuk punggungnya.

Dia masih sesegukan. Ini pertama kalinya kulihat sisi rapuh Yosh. Pantas saja dia tidak bisa menolak perjodohan itu. Yosh sangat menyayangi papanya. Terlihat dia sangat merasa bersalah.

Mama Indri sudah tiba di sini. Dengan raut sedih, kecewa, marah bercampur semuanya. Ia tidak bicara sama sekali, air matanya sudah membasahi wajahnya.

Dokter yang memeriksa papa belum juga keluar. Perasaan kami tidak menentu sekarang. Yosh mondar-mandir tidak bisa tenang.

***

Setelah hampir 1 jam kami di sini, akhirnya Dokter keluar juga.

"Bagaimana keadaan Papa, Dokter?" tanya Yosh yang segera mendekati Dokter setelah keluar.

"Keadaannya belum stabil. Kita hanya berharap yang terbaik sekarang," jawab dokter itu.

Kami akhirnya masuk ke ruangan itu setelah mendapat izin dari dokter dengan syarat tidak terlalu lama.

Yosh memegangi tangan papa yang sudah terpasang infus.

"Bangun, Pa. Yosh minta maaf," kata Yosh dengan matanya yang sudah sembab. Kulihat jari Papa seperti bergerak.

"Yosh, lihat jari Papa. Sepertinya dia bergerak." Yosh memperhatikan dan sekarang mata papa mulai terbuka.

Akhirnya Yosh menekan tombol nurse call. Dan tak lama perawat datang yang disusul dokter.

Sekilas dokter memeriksa keadaan papa. Tapi papa memberi isyarat agar bisa bicara dengan kami.

Dokter akhirnya izin keluar. Papa dengan suara terbatanya meminta kami meninggalkannya dengan Yosh. Aku dan mama keluar meninggalkan mereka.

Kira-kira 15 menit Yosh keluar dan meminta mama masuk. Aku dan Yosh memilih duduk di kursi.

Setelah itu, mama akhirnya memanggilku dan menyuruhku menemui papa.

Aku akhirnya masuk, memegangi tangan papa yang terasa dingin. Aku mencoba tersenyum.

"Clarita!" panggil papa dengan nada terbata.

"Iya, Pah. Ita disini."

"Maafkan Papa, nak. Ini semua karena Papa. Papa hanya berusaha untuk membuatmu bahagia. Papa tidak menyangka Yosh berbuat seperti itu." Aku menggeleng.

"Ini bukan salah Papa, Ita tau Papa sangat menyayangi Ita," Kataku. Sekarang air mataku kembali menetes.

"Papa minta maaf, Papa yang meminta Laras meninggalkan Yosh. Tapi Yosh menyalahkanmu. Papa tidak tahu kalau semua berakibat fatal." Aku tak menjawab, sesekali aku mengusap wajah Papa yang basah karena papa sudah menangis sekarang.

Bisa kalian bayangkan bukan, betapa dia menyayangi aku. Sampai Ia meneteskan air matanya hanya demi aku.

"Clarita!!" Papa memanggilku lagi.

"Iya, Pah?"

"Maukah kamu memaafkan anak Papa? Maukah kamu memberinya kesempatan? Papa berharap dia akan berubah, Ita. Jadi, Papa mohon beri dia kesempatan." Papa memohon sambil memegangi wajahku.

Aku terdiam sejenak, tidak tahu harus berkata apa mengingat apa yang dilakukan Yosh karena kehilangan Laras. Ini berarti Yosh mungkin saja tidak mampu melupakan Laras. Papa memanggilku lagi.

"Clarita!" Aku mengangguk yakin. Aku tidak mau membuat papa terlalu lama menunggu jawabanku.

"Iya, Pah. Ita sudah memafkan Yosh, dan Ita akan kasih Yosh kesempatan," kataku meyakinkan Papa.

"Trimakasih, nak. Menantu sekaligus putri Papa," katanya lagi sambil tersenyum dan perlahan menutup matanya.

"Papa!!" Aku mulai terisak saat tangan Papa yang tadi menyentuh wajahku kini terjatuh lemah di atas ranjang.

Mendengar suaraku yang memanggil papa, mama dan Yosh akhirnya masuk.

Mereka sudah terisak dan memangil-manggil papa. Kami mengguncang tubuh papa. Tapi tak ada rekasi dan jawaban.

Aku berlari keluar berteriak memanggil dokter. Dokter dan beberapa perawat datang setengah berlari. Yosh dan mama masih mengguncang-guncang tubuh papa.

"Maaf sebentar, biarkan saya periksa," kata dokter yang sudah berada tepat di belakang Yosh. Yosh mundur sedikit dan dokter itu memeriksa.

"Maaf, Pak Santoso sudah tiada."

Degg

Suasana hening sebentar, dan kembali bergema oleh suara tangisan kami.

"Pah, kumohon. Aku menyesal Pah. Maafkan Yosh!" kata Yosh dengan suara tangisannya.

Papa benar-benar sudah tiada sekarang. Dan aku orang terakhir yang berada di sisi Papa saat Ia menutup kedua matanya itu diselingi senyuman.

Papa Santoso dan papa Alvian adalah orang yang sangat menginginkan perjodohan ini. Sekarang mereka berdua sudah pergi. Bagaimana kini nasib rumah tanggaku?

Tapi aku tidak menyesali janji yang sudah kubuat pada papa. Untuk memaafkan dan memberi Yosh kesempatan.
.
.
.
.
.
.

#Thank's for reading 🙏🙏

Kuharap partisipasi dan dukungan nya dengan meninggalkan jejak berupa vote dan comentnya teman.

#Don't be a silent reader please 🙏🙏

My Household [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang