Anita keluar dari kamar Alona sesaat setelah gadis itu jatuh terlelap, saat keluar kamar ia mendapati Elis yang berdiri tak jauh dari pintu kamar. Wanita itu nampak terkejut saat Anita keluar dari kamar itu, "Bu?" Sapa Anita.
" O.. Oh Anita, rupanya kamu sudah di sana." Elis tersenyum canggung sebelum berniat berbalik kembali ke kamarnya.
"Ibu mau bertemu Alona?" Anita menghentikan langkah Elis. Wanita itu kembali berbalik menatap Anita yang terseyum maklum padanya.
"Saya kira dia sendiri nak. Makanya saya berniat melihatnya," jawabnya.
"Dia tertidur bu. Dia jarang marah, sekalinya ia mengeluarkan emosinya, hal itu banyak menguras tenaganya saya rasa. Jadi setiap marah-marah dia akan langsung tidur."
"Oh seperti itu ternyata." Elis tak dapat berkomentar banyak, entah sejak kapan ia menjadi mudah merasa canggung pada mantan menantunya itu. Mungkin karena rasa bersalah, entahlah. Namun ia sering merasa tak enak hati setiap kali melihat Anita.
"Ibu mau kembali ke kamar?" tanya Anita saat keheningan mulai meramba mereka.
"Ia, saya tidak punya kegiatan hari ini. Mungkin istirahat sebentar akan lebih baik." jawab Elis sebelum melangkah pergi meninggalkan Anita.
"Baiklah kalau begitu bu. Selamat beristirahat." balas Anita. Ia ikut turun ke lantai satu setelah kembali mengecek Alona.
Saat sampai di dapur ia melihat Sarah yang sedang membersikan perabotan makan, Anita berhenti di tempatnya. Ia bingung mau ikut membantu atau pergi, karena jujur saja ia merasa canggung jika harus bertemu wanita itu sendiri. Namun saat ia akan berbalik Sarah sudah lebih dulu menyadari keberadaannya.
"Mbak Anita," panggil Sarah. Anita berbalik kembali menatap Sarah dan hanya membalas sapaan dengan senyum.
"Mbak butuh sesuatu?" Tanya sarah lagi sembari melap tanganya yang basah pada sebuah serbet lalu melangkah mendekati Anita.
"Nggak, saya cuman mau ambil air minum," jawab Anita.
"Saya ambilin mbak, tunggu aja di teras belakang. Kebetulan ada yang mau saya bicarakan sama mbak." pinta Sarah sebelum berlalu mengambil air minum. Anita yang kebingungan hanya dapat mengangguk setuju dan pergi menuju teras belakang.
Wanita itu membuka pintu penghubung menuju teras belakang, pemandangan yang pertama ia lihat adalah taman yang dipenuhi bunga mawar putih yang disusun selang-seling dengan mawar merah yang tersusun rapih. Wanita itu lalu beralih pada dua buah kursi panjang yang menghadap langsung pada kolam renang yang berada di sebelah kiri halaman.
Anita melangkah menuju kursi panjang itu dan memilih duduk di sana sembari menunggu Sarah. Ia memperhatikan halaman belakang itu dengan takjub, tertata dengan indah dan nyaman untuk bersantai, ia bisa maklum Damian dulu meninggalkannya untuk semua kemewahan ini. Anita tersenyum miris untuk takdir hidupnya sendiri, ia gagal mempertahankan pernikahannya dan sekarang ia takut jika harus gagal dalam membesarkan putri-putrinya.
Bagaimana jika Alona harus hidup dalam dendam dan kebencian seumur hidupnya? Ia takut putrinya akan sengsara dan tak pernah bisa lagi bahagia. Anita tak ingin seperti itu. Anaknya sudah cukup sengsara sejak kecil dan ia tak ingin mereka sengsara seumur mereka.
"Mbak.. " Sarah datang membawa minum yang diminta Anita beserta dua toples nastar.
"Saya buat nastar banyak sejak siang tadi mbak karena dulu Mas Damina pernah bilang kalau Alona dan Aleeza suka nastar, jadi saya buatin, biar mereka bisa ngemil ini selama tinggal di sini," Jelas Sarah sembari membuka dua toples itu dan memberikannya pada Anita.
"Saya nggak tau itu enak atau nggak, saya juga buatnya buru-buru. Apalagi mbak Anita jago bikin kue, saya jadi rendah diri takut kuenya malah nggak enak, " lanjut Sarah.
Anita tersenyum dan diam saja saat mengambil satu nastar itu kemudian mencobanya, "Ini enak," ucapnya sesaat setelah menggigit nastar itu.
"Anak-anak pasti suka kok," lanjutnya.
"Syukurlah mbak. Kalau nanti Alona sudah bisa ditemui boleh kasih nastarnya untuk dia mbak? Saya merasa bersalah karena kejadian tadi. Sunggu sejak awal saya hanya berharap mbak dan anak-anak bisa aman selama tinggal di sini, tapi malah gagal di hari pertama. Maaf sekali ya mbak," ungkap Sarah.
Anita mengamati wanita itu beberapa saat sebelum menggeleng, "Tidak usah minta maaf. Kamu tidak salah. Hal seperti tadi memang tak bisa terhindarkan. Alona sangat keras Sarah, itu sebabnya walau niat Angel baik tapi mungkin ada baiknya ia jangan dulu mendekat pada Alona, saya takut terjadi hal buruk. Karena emosi Alona meledak-ledak. Ia masih tak mampu memaafkan siapa pun, dan mungkin akan membutuhkan waktu yang lama, jadi sebaiknya kita lakukan perlahan-lahan." pintah Anita, Sarah hanya mengangguk dan mereka berada dikehingan selama beberapa saat sampai Sarah memulai kembali.
"Maaf Mbak. Ini semua salah saya. Maaf karena sudah mengahancurkan kebahagian mbak dan anak-anak. Maaf untuk hal buruk yang menimpa kalian, saya jahat dan benar-benar serakah. Tidak tau malu dan seorang penghancur. Saya sangat malu karena setelah apa yang saya lakuka pada mbak Anita, saya masih diperlakukan baik. Saya sunggu malu mbak." Sarah berucap dengan wajah tertunduk, ia meremas tangannya dan tak berani menatap Anita. Matanya mulai berkaca-kaca namun ditahannya agar tak sampai benar-benar menangis, ia ingin meminta maaf dengan benar dan tak ingin air mata menghalanginya.
Anita menatap Sarah lama, ia tak menyangka wanita itu ingin kembali membahas masa lalu dan mengakui kesalahan yang pernah dibuatnya dulu, dan hal itu membuatnya tersenyum tenang, "Apa kamu tahu Sarah. Saya selalu berpikir saya wanita yang terlalu naif dan lemah karena setelah kejadian buruk itu saya tak pernah menyalahkan kalian atau mendendam pada kalian. Justru sebaliknya saya menyalahkan diri sendiri atas kegagalan pernikahan saya. Saya sendiri bingung kenapa saya tidak bisa membenci kalian walau saya ingin, padahal saya merasa sangat sakit dan hancur saat itu. Namun untuk membenci kalian saya tidak mampu. Mungkin jika orang lain mendengar pengakuan saya saat ini mereka akan mengatai saya bodoh, lemah dan terlalu naif." Anita menjeda ucapannya sembari tersenyum. Ia menatap pada Sarah yang juga menatap padanya dengan raut terkejut.
"Tapi setelah bertahun-tahun saya lewati dengan pertanyaan mengapa, akhirnya saya mengerti bahwa hal positif dari cara saya menyikapi masa lalu saya terlihat dari bagaimana saya akhirnya membangun hidup saya kembali, karena jika saya berkubang dalam dendam dan kebencian secara terus-menerus mungkin saya tidak akan pernah bisa bangkit lagi dan membesarkan dua putri saya. Saya tidak bisa bayangkan saya harus hidup dalam rasa benci yang berakhir menghancurkan hidup saya sendiri karena tak pernah ada ketenangan. Saya seorang ibu, saya adalah fondasi hidup anak-anak saya. Jika saya saja tidak bisa melupakan masa lalu dan berkubang pada rasa dendam, lalu bagaimana saya akan membesarkan anak-anak saya? Saya sangat mencintai anak-anak saya lebih dari apa pun, oleh sebabnya saya harus memaafkan." Jelas Anita dengan senyum yang tak pernah luntur dari wajahnya. Ia kemudian mengambil tangan Sarah dan meremasnya perlahan.
"Saya memaafkan kamu. Jadi saya mohon pada kamu untuk maafkan diri kamu juga, bukannya setiap manusia pernah melakukan kesalahan? Jadi, mari kita sama-sama belajar dan menjadi lebih baik lagi." ucap Anita pada akhirnya yang membuat Sarah menangis sangat kencang hingga napasnya terasa sesak. Sementara di belakang mereka di balik tembok Damian berdiri mematung, menutup mulutnya dan menangis, menyesali perbuatannya dulu. Ia menepuk dadanya berulang kali karena rasa sakit dan malu terhadap kebesaran hati mantan istrinya itu. Ia sadar bahwa ia adalah pria paling bodoh karena sudah meninggalkan wanita yang luar biasa seperti Anita. Ia sunggu bodoh.
Bersambung...
Mohon vote dan komennya
KAMU SEDANG MEMBACA
Still The Same
RomanceWARNING!! Adults Only! Terdapat banyak kata-kata kasar dan adegan kekerasan! Mohon bijaklah memilih bacaan. ** Ketika kau dikhianati oleh dua orang yang kau percaya sekaligus, orang yang dipercaya sebagai cinta pertamamu dan seseorang yang kau yaki...