45

5K 539 150
                                    

Alona sudah melangkah cukup jauh tak tentu arah. Ia bertenti lalu melangkah memasuki sebuah taman yang sepih, ia berjalan menuju sebuah kursi panjang yang terletak tak jauh dari tempatnya.

Ia lalu duduk terdiam di sana, menunduk dan teringat kembali kejadian yang tadi di lihatnya.

Berpisah? Cih!

Ia jelas tak mempercayai ucapan ayahnya, kalaupun benar seperti itu, semuanya sudah terlambat. Tidak ada gunanya lagi.

Gadis itu mengepalkan tangannya kuat, rasa marahnya belum redah sama sekali hingga kepalanya pusing.

Benar-benar perasaan yang tak nyaman. Ia ingin menghentikan semua hal yang kini dirasakannya namun sulit. Setiap kali ia mengingat apa yang pernah terjadi kemarahan itu akan dengan mudah muncul, setiap mengingat wajah ayah dan wanita itu, kebencian kembali mengakar kuat padanya. Rasanya benar-benar menyiksa.

Gadis itu menghela napasnya perlahan, kemudian menutup matanya sembari menunduk.

Angin menerpanya perlahan, membuat Alona kedinginan. Namun rasa itu hilang dengan cepat saat sesuatu tiba-tiba membukus tubuhnya.

Alona membuka matanya dan mendongak, matanya bertemu tatap dengan milik Kenzo.

Pria itu berdiri di depannya dengan ekspresi tak terbaca.

Alona menghela napasnya kesal, namun enggan meledak untuk kali ini.

"Apa lo budek?" ucapnya dingin,

Gadis itu menatap tepat di mata Kenzo, namun tatapanya kali ini berbeda. Kenzo tak menemukan kemarahan pada tatapannya selain perasaan lelah yang terlihat jelas dari matanya.

Kenzo ikut duduk di sebelah Alona tanpa suara. Ia memandang jauh ke depan, terlihat jelas tengah berpikir keras.

"Aku selalu berpikir. Kalau saja dulu aku tahu lebih dulu apa yang terjadi pada mu dan keluarga kamu. Mungkin saat ini kita berada di situasi berbeda." Kenzo menjeda ucapannya, kemudian beralih menatap Alona yang menatap datar padanya.

Ia menatap gadis itu lekat dan lembut di saat bersamaan. Hingga membuat Alona jengah.

"Kalau saat itu aku ada bersama kamu. Mungkin sekarang kita sudah menikah." lanjutnya lagi.

Alona membulatkan matanya, kembali menatap Kenzo yang tengah manatap lekat padanya.

"Lo gila?! Gue nggak akan mungkin nikah sama lo," ucapnya ketus.

Kenzo terkekeh geli,

"Oh ya? Bukannya dulu kamu ngebet pengen nikahin aku ya?" Kenzo berujar geli sembari berpura-pura berpikir.

"Ngapain lo percaya omongannya anak bau kencur?" Alona berpaling, berusaha menutupi wajahnya yang mulai memanas.

Bagaimanapun dinginnya gadis itu, ia jelas akan malu jika diingatkan kembali pada masa lalunya yang bisa dibilang genit dan tak tahu malu itu.

"Dulu setiap kali ada teman cewekku yang datang ke rumah, kamu selalu memperkenalkan diri sebagai calon istriku. Bahkan tidak segan-segan memperingati siapapun yang datang agar tidak centil padaku. Kamu ingat itu Alona?" Kenzo tahu Alona tengah menahan malu habis-habisan, sejujurnya ia terkejut reaksi gadis itu akan seperti ini. Ia pikir Alona mungkin akan meneriakinya atau memakinya seperti biasa.

Apakah ini artinya Alona mulai lunak padanya?

"Nggak usah diingatin. Mendingan lo pergi deh! Lo gangguin gue tau nggak?"

Kenzo tak mejawab, ia terdiam kemudian dengan tenang ia menumpuhkan kaki kirinya pada kaki kanannya lalu melipat tangannya dan meletakan sikunya di atas pahanya dan menyandarkan wajahnya pada telapak tangannya. Ia mengamati wajah Alona dengan teliti.

Still The SameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang