3 – Bertemu Si Anak Menyebalkan, Lagi
Sudah lewat satu jam Veryn berbaring di atas tempat tidur, dengan selimut menutupi tubuh, memikirkan ide cerita untuk naskah yang diminta Feli. Ia tidak bisa tidur sebelum bisa menemukan ide cerita untuk naskah itu. Mengingat ini cukup jauh dari genre yang dikuasainya, Veryn merasa ia harus segera menemukan idenya. Jika ia ingin membuat cerita tentang hantu, atau pembunuh, ia harus mencari tahu sebanyak mungkin tentang itu. Banyak yang harus ia cari tahu dan pelajari untuk menulis naskah itu.
Veryn mendesah berat. Ini sulit. Rasanya seperti mengerjakan soal Ilmu Alam padahal semua yang ia tahu hanyalah materi Ilmu Sosial. Veryn memejamkan mata, berusaha mencari dan mengingat apa pun yang bisa dijadikan ide cerita. Semua film yang ditontonnya, novel yang dibacanya, sejauh ini hanya tentang cinta. Oh, ia bahkan tidak tahu apa itu cinta, atau apakah cinta itu nyata.
Veryn mengerang frustrasi seraya beranjak duduk. Kenapa ia harus memikirkan cinta dengan cara seperti ini? Bahkan meskipun kebanyakan naskah yang ia tulis adalah tentang cinta, tapi sejujurnya, ia selalu pusing setiap kali memikirkan logikanya. Ah, benar. Cinta bukan hal yang bisa dicerna dengan logika.
Veryn kembali menjatuhkan tubuh di atas tempat tidur, menatap langit-langit kamarnya. Seharusnya ia tidak ragu untuk melakukan rencananya sejak ia datang ke rumah ini, untuk mengecat langit-langit kamarnya. Tapi, jika dipikir-pikir lagi, ia masih ragu hingga saat ini.
Veryn ingin mengecat langit-langit kamarnya dengan warna langit dan melukis awan di sana. Tapi, ia khawatir akan bosan. Ia butuh sesuatu yang menyegarkan. Seperti hutan, pegunungan. Tapi, jika malam-malam ia menatap ke dalam hutan, ia bisa takut sendiri dan tidak bisa tidur. Ia ingin menggambar laut, dengan sunrise atau sunset, tapi sepertinya itu juga akan membuatnya bosan.
Veryn kembali mendesah berat. Apa yang tadi ia pikirkan hingga ia berpikir sejauh ini? Seharusnya ia hanya mencari ide untuk proyek barunya. Kenapa kepalanya tidak pernah bisa berpikir dengan benar? Fokusnya selalu saja melantur ke mana-mana. Veryn mengomeli dirinya sendiri, lalu ia kembali memejamkan mata.
Misteri, horor, thriller ...
Polisi, mafia, agen rahasia, hantu, pembunuhan ...
Tunggu, pembunuhan?
Veryn beranjak bangun. Buru-buru ia meraih ponselnya di meja samping tempat tidur, lalu segera mencari nama Liana di list kontaknya. Pada dering ketiga, telepon diangkat dan terdengar suara panik Liana di seberang.
"Kenapa, Ve? Kamu kenapa? Kamu di mana? Kamu ..." Suara panik di seberang itu membuang Veryn mengangkat alis.
"Wow, wow ...easy, Li ..." tahan Veryn. "Aku di kamar dan aku baik-baik aja."
Terdengar desahan lega di seberang, tapi kemudian Veryn harus menjauhkan telepon dari telinganya saat Liana berteriak marah, "Kamu pikir apa yang kamu lakuin, hah?! Malam-malam gini telpon aku, bikin aku cemas setengah mati. Kamu tuh, emang ..."
Veryn meringis mendengar omelan panjang Liana. Untuk mencegah amarah Liana menjadi semakin parah, Veryn terpaksa menahan untuk membalas kecemasan berlebihan Liana itu. Ia bahkan tidak akan berkomentar tentang itu. Tidak sekarang.
"Trus, ngapain kamu nelpon aku malam-malam gini?" sengit Liana.
Veryn berdehem. "Aku pengen tanya sesuatu, nih," katanya.
"Apaan?" balas Liana, masih sesengit sebelumnya.
"Tentang kasus pembunuhan yang tadi kamu ceritain ke aku ... bisa nggak kamu ceritain detailnya ke aku? Misalnya ... gimana para korbannya terbunuh ... tempat kejadiannya, trus ..."
KAMU SEDANG MEMBACA
I See You (End)
Mystery / ThrillerBagi Veryn, hidup tanpa teman, sendirian, adalah cara hidup yang aman, dan nyaman. Sebagai seorang penulis novel fiksi, Veryn bisa dibilang lebih menikmati kehidupannya yang nyaris tanpa sosialisasi. Tapi kenyamanannya itu harus berakhir ketika Zelo...