6 - Kesialan yang Berlanjut

1.2K 157 12
                                    

6 – Kesialan yang Berlanjut

"Apa?" Zelo menatap Veryn kaget. "Tinggal di rumahmu?"

Veryn mengangguk. "Pak Doni tadi sempat ketemu aku sebelum rapat. Katanya kamu disuruh tinggal di rumahku, jadi biar lebih gampang juga aku ngajarin kamu nulisnya. Dan juga, proyek ini harus selesai dalam tiga bulan. Jadi, aku butuh informasi dari kamu sebanyak mungkin. Belum lagi aku masih kudu ngajarin kamu. Pak Doni bilang, rumahmu jauh banget dari sekolah, jadi bakal sulit buat ketemu juga kalau kamu nggak tinggal di rumahku. Lagian, aku juga nggak suka keluar rumah.

"Kamu juga udah di tahun terakhir dan harus banyak belajar, kan? Tiap hari kamu ada kelas tambahan dan baru pulang sore. Kamu juga pasti bakal susah nyari waktunya buat proyek nulis kita. Jadi, menurutku juga emang lebih baik kalau kamu tinggal di rumahku sampai proyek ini selesai. Jadi, aku juga bakal lebih mudah ngajarin kamu dan nyesuaiin sama jadwal belajarmu juga."

"Ah," desah Zelo, terdengar kecewa. "Apa di dekat rumahmu ini nggak ada rumah yang bisa aku sewa? Atau ... rumah kos gitu?"

Veryn menggeleng. "Tenang aja, di rumahku masih ada satu kamar kosong, kok. Kamu bisa makai kamar itu. Aku nggak bakal nyuruh kamu tidur di sofa ruang tamu, jadi nggak perlu khawatir. Dan, rumahku juga udah kayak rumah kos. Karena aku tinggal sendiri, jadi kita bisa bebas dari omelan-omelan orang tuaku."

Zelo meringis. "Kalau gitu ... kapan aku bisa pindah ke rumahmu?"

"Kapan aja," sahut Veryn santai. "Makin cepat makin baik. Jadi, kita bisa mulai proyek nulisnya. Meskipun kata Pak Doni kamu hebat nulisnya, tapi aku masih harus ngelihat kemampuanmu juga. Aku juga harus ngajuin gagasan duet kita ke editorku. Jadi ... sore ini kalau kamu bisa."

Zelo mendesah lelah. "Oke. Ntar habis aku lihat rumahmu, aku bakal pulang dan ambil barang-barang dulu."

Veryn mengangguk setuju.

***

"Kenapa kamu nggak mau naik motor?" Zelo terdengar kesal ketika bertanya.

"Karena aku benci suara berisik di jalanan," sahut Veryn santai. "Aku nggak maksa kamu buat ikut jalan sama aku, kan?"

"Jalan kayak gini, bukannya tetap berisik?" cibir Zelo.

"Tapi, perhatianku teralihkan," balas Veryn. "Kalau naik kendaraan, aku nggak bisa mikir dengan tenang. Kalau jalan kayak gini, aku bisa mikirin banyak adegan buat ceritaku."

"Kamu bahkan lebih berisik dari jalanan," dengus Zelo.

Veryn menghentikan langkah untuk menatap Zelo dengan kesal. "Aku bahkan nggak ngomong sebanyak itu dan kamu dari tadi bilang kalau aku ini berisik. Dengar ya, kalau kamu pengen belajar dari aku, kamu harus, kudu, wajib, bersikap sopan sama aku, ngerti?!"

Zelo tampak akan membantah, tapi kemudian dia kembali mendengus dan mengangguk singkat, sebelum memalingkan wajah dengan kasar.

Veryn mendengus tak percaya. Anak ini benar-benar ...

"Buat ukuran seorang penulis yang katanya udah punya banyak buku, kamu payah juga ya, bikin kalimatnya," katanya tiba-tiba.

"Kamu tuh, emang hobi bikin orang kesal dan ..."

"Ngiris-iris bola sampai jadi debu," sebut Zelo. "Apa kamu juga nulis hal kayak gitu di novelmu?"

Veryn berpikir cepat. "Aku cuma asal ngomong aja waktu itu soalnya aku lagi marah. Itu nggak ada hubungannya sama novelku," ia membela diri.

"Oke," Zelo mengalah dengan sinis.

Veryn mendesis kesal ke arah anak itu. Jika bukan karena Pak Doni yang meminta tolong, Veryn tidak akan mau repot-repot membawa pulang anak kurang ajar ini. Berurusan dengannya saja Veryn juga tidak akan mau. Tapi, mengingat ia juga membutuhkan informasi dari anak ini, sepertinya ia harus mengalah kali ini. Toh ini tidak akan lama. Ia akan menyelesaikan proyek ini dengan cepat, lalu menendang anak kurang ajar ini keluar dari rumahnya.

I See You (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang