8 – In Her Mind
"Ada masalah apa kamu sama tokoh Zen di sini?" protes Zelo segera setelah ia membaca deskripsi tokoh utama yang harus ia kerjakan.
Veryn berusaha tersenyum senormal mungkin. "Itu sesuai sama kamu, kan? Wajah angkuh, sikap kurang ajar, dan poin pentingnya, pintar ngeledek. Oh, dan kamu juga kelihatan kayak playboy. Kamu pasti bisa ngerti dirimu sampai titik itu, kan?"
Zelo mendengus tak percaya. "Trus, gimana kamu ngegambarin tokoh Eri di sini? Rapi? Teliti? Cerdas? Ramah? Cantik? Apa itu nggak berlebihan kalau kamu berpikir si Eri ini adalah gambaran dirimu?"
Veryn mendelik galak. "Tuh, tuh, aku benar, kan? Kamu emang pintar banget ngeledeknya."
"Aku cuma ngungkapin fakta," balas Zelo santai.
Veryn mendesis kesal. "Oke, oke, Eri itu bukan aku. Puas?"
Zelo tak menjawab dan hanya mengedikkan bahu. Tapi, Veryn bisa melihat senyum puas di sudut bibirnya. Veryn harus menahan diri untuk tidak melemparkan bantal sofa pada anak kurang ajar itu.
***
Zelo yang tadinya sudah mulai menulis, seketika menghentikan kegiatannya ketika bayangan masa lalu Veryn berkelebatan di kepalanya. Gadis itu tampaknya sedang memimpikan masa lalunya. Tapi, masa lalunya itu ...
Veryn yang mengenakan seragam putih biru melompat-lompat kecil di sepanjang koridor, menuju kelasnya. Satu tangannya membawa tas bergambar kartun lucu. Tapi, langkah riangnya terhenti saat dia tiba di depan pintu sebuah ruang kelas. Ekspresi gembiranya berubah menjadi ekspresi terpukul demi mendengar percakapan beberapa murid perempuan di dalam kelas itu.
"Dia pikir dia siapa, coba? Sombong banget. Emangnya cuma dia yang bisa pergi ke luar negeri? Toh itu cuma Singapore. Aku bisa pergi ke Perancis atau bahkan Yunani kalau aku mau. Apa yang patut dia sombongin sih, dari Singapore?" salah seorang murid perempuan berbicara.
"Benar, tuh. Emang kampungan tuh anak. Cuma pergi ke Singapore aja dia udah kegirangan gitu. Pakai sok janji bakal ngebawain kita oleh-oleh segala. Jangan-jangan, dia ntar bakal ngebeliin kita barang-barang murah di sana?" tambah murid yang lain disambut tawa yang lainnya.
"Sebenarnya aku juga udah ogah temenan sama dia. Dia tuh gayanya sok imut. Sok ceria. Sok baik. Ah, aku muak banget deh sama dia," murid lain melanjutkan.
"Iya, aku juga. Tapi, dia juga pintar, sih. Yah, seenggaknya kita bisa dapat contekan lah buat tugas sekolah. Pas ujian juga kita nggak perlu belajar," murid lain berbicara.
Seiring dengan suara tawa memenuhi ruangan itu, kaki Veryn melangkah mundur. Tas di tangannya terlepas, lalu berakhir di lantai, membuat beberapa kotak terserak darinya. Tapi, Veryn bahkan tidak peduli dan memutar tubuhnya, berlari ke gerbang depan. Dia menangis sembari berlari sepanjang jalan menuju rumahnya.
"Aku selalu percaya sama mereka. Aku ... sayang sama mereka. Aku selalu pengen bisa jadi sahabat yang baik buat mereka. Tapi, kenapa mereka malah benci aku karena itu? Kalau kayak gini, mending aku nggak punya teman sekalian. Aku nggak mau punya teman. Mereka semua ... cuma pembohong."
Zelo berusaha untuk tidak menoleh saat Veryn membuka matanya. Apa pun yang ada dalam pandangan gadis itu tampak buram. Ia lalu menoleh ke arah Zelo.
"Aku ... kayaknya ketiduran," ucap Veryn lemah.
Zelo mengangguk, masih tidak menoleh pada gadis itu. "Ini udah jam sembilan lewat."
Veryn berdehem. "Kalau gitu, aku masuk ke kamar dulu, ya? Udah malam juga. Kamu juga, mending kamu buruan istirahat. Besok kamu masih harus sekolah, kan? Jangan sampai besok kamu bangun terlambat gara-gara proyek ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
I See You (End)
Misterio / SuspensoBagi Veryn, hidup tanpa teman, sendirian, adalah cara hidup yang aman, dan nyaman. Sebagai seorang penulis novel fiksi, Veryn bisa dibilang lebih menikmati kehidupannya yang nyaris tanpa sosialisasi. Tapi kenyamanannya itu harus berakhir ketika Zelo...