32 – Don't Let Go
"Kapan terakhir kalinya kita ngobrol kayak gini tanpa lewat pikiran?" Zane terengah begitu permainan mereka berakhir. Ia melirik Zelo yang sudah merebahkan tubuh di sebelahnya.
Zelo tersenyum kecil. "Aku bahkan nggak ingat kapan terakhir kali kamu ngomong langsung kayak gini ke aku. Kamu bahkan nggak pernah secerewet ini sebelumnya."
"Apa aku harus bilang makasih ke cewekmu buat ini?" Zane mulai lagi.
Zelo mendengus tak percaya. "Kamu masih belum nyerah?"
Zane mendesah lelah. "Aku nggak pengen dengar kamu ngerengek dan nyesal gara-gara keputusanmu ini."
Zelo mendesis kesal pada kakaknya itu. "Cuma karena aku ngebiarin Veryn nganggap aku anak kecil, bukan berarti aku bakal ngebiarin kamu ngelakuin itu juga, Zane."
Zane menoleh, tersenyum geli. "Meskipun kamu ntar ngerengek tiap malam, aku masih bisa hadapin itu, kayaknya," katanya. "Tapi, nggak tahu kenapa aku ngerasa, kalau semuanya nggak berakhir baik sama cewek itu, kamu bakal jadi terlalu menyedihkan."
Zelo mendesah berat. "Kamu berharap aku gitu?"
"Nggak perlu berharap pun, pas cewek itu ninggalin kamu ntar, kamu bakal kayak gitu juga. Aku bahkan nggak perlu nunggu hal itu kejadian langsung di depan mataku buat yakin kalau itu benar-benar bakal terjadi," ungkap Zane.
"Ntar begitu semua ini selesai, aku bakal ngomongin semuanya ke cewek itu, trus dia pasti bakal marah dan benci aku, dan dia nggak bakal mau lagi ngelihat aku," Zelo berkata. "Saat itu ntar, aku harus pergi dari hidup dia. Karena aku udah pernah nyakitin dia sekali, aku nggak pengen lebih nyakitin dia lagi dengan maksa buat ada di sisinya pas dia bahkan nggak pengen ngelihat aku lagi."
"Apa dia tahu?" Zane menelengkan kepala ke arah Zelo.
"Apa?"
"Tentang perasaanmu itu, yang bahkan lebih besar dari kemarahan ataupun kebenciannya ke kamu pas dia tahu kebenarannya ntar. Bahkan meskipun dia ngebalas perasaanmu, itu nggak bakal sebesar perasaanmu ke dia. Apa dia juga tahu itu?" Zane menatap Zelo sangsi.
"Dia nggak perlu tahu," ucap Zelo. Ia kembali mendesah berat ketika menatap langit malam. "Cewek itu ... dia bahkan nggak sedikit pun ngerasain apa yang aku rasain." Zelo mendengus, menertawakan dirinya sendiri. "Nggak peduli apa pun yang aku lakuin, di mata dia, aku cuma anak sekolah yang kurang ajar, nggak sopan, nyebelin, dan sisanya kamu bisa lihat sendiri di kepala dia."
Zane tertawa kecil. "Kita mungkin bisa lihat dan dengar pikiran seseorang, tapi kita nggak bisa sembarangan nebak perasaan seseorang. Sampai semua ini benar-benar berakhir, siapa tahu kalau hatinya ntar berubah?"
Zelo meringis. "Semoga aja nggak," ucapnya. "Kalau dia juga ngerasain hal yang sama kayak aku, dia bakal lebih terluka lagi pas dia tahu tentang kebenarannya ntar."
"Ini nih yang paling aku benci dari kamu," desis Zane. "Kamu tuh pesimis banget kalau udah nyangkut tentang dirimu sendiri."
"Apa kamu lupa, ini tuh salah satu hal yang aku pelajari dari kamu?" balas Zelo.
Zane menatapnya dengan geram. "Jangan ngalihin pembicaraan, deh."
Zelo menyeringai. "Kenapa? Kamu bisa ngomongin tentang perasaanku, tapi aku nggak boleh ngomongin tentang kamu dan Ellena? Padahal cuma ada dia di kepalamu sampai sekarang."
Zane menatap Zelo tajam. "Kamu nggak tahu yang sebenarnya."
"Apa yang aku nggak tahu kalau aku bisa ngelihat sendiri dengan jelas dari kepalamu?" dengus Zelo. "Ngapain kamu ninggalin dia, aku tahu alasanmu. Tapi, kamu juga nggak pernah berusaha ngeyakinin dia, kan? Kamu bahkan nggak pernah tanya ke dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
I See You (End)
Mystery / ThrillerBagi Veryn, hidup tanpa teman, sendirian, adalah cara hidup yang aman, dan nyaman. Sebagai seorang penulis novel fiksi, Veryn bisa dibilang lebih menikmati kehidupannya yang nyaris tanpa sosialisasi. Tapi kenyamanannya itu harus berakhir ketika Zelo...