2 – Cerita Horor Masa SMA
"Kamu tinggal sendiri di rumah ini?" Nania menatap sekeliling rumah Veryn dengan penasaran. Meski enggan, tapi Veryn terpaksa memberikan alamat rumahnya pada Liana ketika dia meminta tadi. Jika tidak, dia akan terus menelepon Veryn sampai mendapatkan alamatnya.
"Aku cuma butuh tempat buat tidur sama kerja," sahut Veryn cuek seraya kembali dengan membawa tiga kaleng cola ke ruang tamu.
"Bukan berarti kamu bisa ngebiarin tempat ini jadi seberantakan gudang, kan?" cibir Liana, membuat Veryn mendesis kesal ke arahnya.
"Tujuh tahun nggak ketemu dan kamu udah berani ngeledek aku," sengit Veryn.
"Kamu sendiri, tujuh tahun nggak ketemu dan kamu udah lupa sama kita," balas Liana.
Veryn berdehem. "Kalian kelihatan beda banget dari pas SMA dulu. Terlalu banyak perbedaan. Dengan dandanan kayak gitu, dan rambut kalian juga nggak sependek dulu. Lagian, aku juga kan, nggak sehebat itu kalau disuruh ngingat wajah orang."
"Kamu juga nggak sedikit pun berubah. Sekarang juga kamu pasti nggak punya teman lain selain kita," sinis Liana. "Ngelihat hidupmu yang kayak gini, kayaknya kamu juga nggak punya ..."
"Aku punya teman, tapi dalam batas-batas tertentu," sela Veryn. "Aku nggak perlu ngebuang waktu buat ketemu orang-orang dan berbasa-basi kayak gini."
"Kalau aku nggak kenal kamu, aku pasti udah mikir kalau kamu ngusir kita," sahut Liana santai.
Veryn mendesah berat. Benar. Ia memang tidak pernah punya teman. Ia tidak ingin punya teman dekat, sebenarnya. Bisa dibilang, Liana dan Nanialah teman yang bisa dibilang cukup dekat dengannya. Itu pun, Veryn masih sempat melupakan mereka. Yah, itu toh bukan salahnya, melihat wajah dan penampilan kedua temannya itu sudah berubah.
"Apa kamu juga kenal sama tetanggamu?" curiga Liana.
"Kenal, lah," sahut Veryn mantap. "Tadi aku ke supermarket buat beliin buah buat tetangga sebelah rumah, tahu," pamer Veryn tanpa melanjutkan bahwa itu adalah suapnya agar tetangganya tidak melapor pada ibunya tentang menu makannya.
Liana mencibir. "Cuma itu aja kehidupan sosial yang kamu punya?"
Veryn mendesis kesal. "Aku kenal banyak penulis lain. Aku kenal para editor, aku kenal para pembaca yang nyapa aku di sosmed."
"Cuma sekadar kenal?" dengus Liana. "Kamu beneran nggak punya teman?"
"Punya, lah! Aku dekat sama salah satu editorku," Veryn membela diri. Feli adalah satu-satunya orang yang bisa dipamerkannya sebagai teman saat ini.
Liana menghela napas berat. "Aku khawatir banget sama kamu pas kita lulus SMA. Gimana kamu bakal nyari teman, gimana kamu bakal bersosialisasi, gimana kamu bakal ..."
"Aku bukan anak kecil, Li. Ngapain sih kamu pake ngawatirin hal-hal kayak gitu?" keluh Veryn.
"Karena aku tahu kamu, Ve," balas Liana dengan suara pelan. "Dan aku nggak pengen kamu jadi kayak Della."
Veryn mendesah pelan mendengar nama itu disebut. Della adalah teman sekelas mereka di tahun pertama SMA. Dia juga suka menyendiri dan tidak mau berteman. Di tahun ketiga mereka, beberapa bulan sebelum Ujian Nasional, Della meninggal karena bunuh diri. Sejak Della meninggal itulah, Liana menjadi lebih perhatian pada Veryn. Tak peduli betapa pun cueknya Veryn padanya, dia selalu bertahan menemani Veryn.
Namun, setelah tujuh tahun tak melihatnya, Veryn bahkan tak bisa langsung mengingatnya. Jika memikirkan masa lalu, Veryn merasa sedikit menyesal karena tidak mengingat Liana. Bagaimanapun, di saat semua orang tak memedulikannya, Liana masih peduli padanya. Sementara, Nania yang memang sudah bersahabat dengan Liana, juga selalu mengikuti Liana saat dia berusaha berteman dengan Veryn.
KAMU SEDANG MEMBACA
I See You (End)
Misterio / SuspensoBagi Veryn, hidup tanpa teman, sendirian, adalah cara hidup yang aman, dan nyaman. Sebagai seorang penulis novel fiksi, Veryn bisa dibilang lebih menikmati kehidupannya yang nyaris tanpa sosialisasi. Tapi kenyamanannya itu harus berakhir ketika Zelo...