30 – Dalam Pelukmu
"Hidup ini ... kadang rasanya berat banget, ya?" desah Veryn.
Zelo bangkit dan menghampiri Veryn, berdiri di belakang gadis itu.
"Aku dan Zane mulai punya kemampuan ini pas kita masih berumur sepuluh tahun," cerita Zelo seraya mendorong pelan ayunan Veryn dari belakang. "Zane sepuluh tahun lebih tua dari aku, jadi pas dia tahu aku juga bisa lihat dan dengar pikiran orang, dia ngebantuin aku ngelewatin masa-masa sulitku itu. Apalagi, itu cuma setahun setelah orang tuaku meninggal.
"Kalau waktu itu nggak ada Zane, aku pasti udah gila. Ngehadapin semua itu, satu masalah diikuti masalah lainnya ... aku benar-benar pengen nyusul orang tuaku aja. Pas aku bisa lihat dan dengar pikiran teman-temanku, orang-orang di sekitarku, aku sadar betapa mengerikannya dunia ini. Tapi, setiap kali aku berpikir buat pergi ke tempat orang tuaku, aku langsung keingat kata-kata Zane.
"Sekarang cuma tinggal kita berdua, itu yang dia bilang ke aku di hari pemakaman orang tua kami. Bisa lihat pikiran Zane, aku sempat marah sama diriku sendiri. Pas aku pengen nyerah, Zane justru berusaha bertahan demi aku. Dia harus belajar lebih keras, bekerja lebih banyak, demi aku. Aku selalu ngerasa bersalah sama dia karena banyak hal. Tapi ternyata, rasa bersalahku itu justru bikin dia nggak nyaman."
Zelo mendengus kecil. "Bisa lihat dan dengar pikiran satu sama lain, kayaknya malah bikin kita saling ngejauh. Aku khawatir pikiranku bakal ngecewain Zane, dan dia juga gitu. Kita selalu hati-hati banget dengan pikiran kita kalau pas kita lagi bareng. Rasanya kayak jalan di atas pecahan kaca. Dikit aja salah langkah, kita bakal terluka. Yang bikin kita berdua makin canggung tuh, karena kita sama-sama berpikir; seandainya cuma aku yang harus terluka, aku nggak bakal ngeluhin apa pun lagi dalam hidupku."
Kaki Veryn menapak tanah, menghentikan ayunannya. Perlahan ia berdiri, tapi saat hendak berbalik, ia merasakan Zelo menahan bahunya. Veryn tersentak kecil ketika tiba-tiba Zelo memeluk pinggangnya dari belakang.
Veryn menghela napas berat, lalu mengulurkan tangannya ke belakang, dan dengan lembut ditariknya kepala Zelo hingga bersandar di bahunya.
"Bahkan buat anak kurang ajar kayak kamu, dunia masih bisa kejam banget, ya?" gumam Veryn sedih.
"Kamu bahkan masih bisa ngeledek aku di saat kayak gini," dengus Zelo geli.
Zelo tersentak kecil ketika tiba-tiba Veryn menarik tangannya dan berbalik untuk menatapnya. Tapi, itu bukan apa-apa dibandingkan dengan tangan Veryn yang tiba-tiba terangkat dan menangkup wajahnya, menariknya mendekat. Jantung Zelo seketika berpacu karena kedekatan mereka.
"Karena kamu," Veryn berkata, "aku mau berusaha buat ngehadapin masa laluku. Dan karena kamu juga, aku mulai berani ngehadapin dunia. Karena kamu, aku mau nyoba ngehadapin ketakutanku."
Tatapan Zelo kini tertuju sepenuhnya di sorot penuh tekad Veryn.
"Makanya, kamu juga harus berusaha buat ngehadapin kemampuanmu itu dan bukannya malah melarikan diri kayak gini. Kamu sama kakakmu sama-sama butuh satu sama lain, tapi kalian juga saling khawatirin satu sama lain. Dengan kamu bisa lihat ke dalam pikiran kakakmu, bukannya itu berarti kamu udah ngelihat segala hal baik dan buruk dari kakakmu? Trus, apa lagi yang kamu takutin?
"Daripada terus ngerasa bersalah sama kakakmu, kenapa nggak kamu mikirin betapa beruntungnya kamu karena kamu adalah orang yang paling bisa ngerti, dan dimengerti sama kakakmu? Kalian nggak punya rahasia satu sama lain. Kalau yang satu terluka, yang lain mungkin bakal terluka juga. Tapi, kalau kamu bahagia, bukannya kakakmu juga bisa ngerasain itu?
"Ngehindarin satu sama lain nggak bakal nyelesaiin masalah kalian. Bersikap saling nggak peduli juga sebenarnya cuma nyakitin kalian, kan? Pas kakakmu ngehadapin masalah, kamu juga pasti ngerasa kecewa karena nggak bisa ngelakuin apa pun. Tapi seenggaknya, kamu tahu masalah kakakmu, dan kamu bisa ngeyakinin dia kalau kamu percaya dia bakal bisa hadapin itu. Jadi, kakakmu juga bisa ngehadapin masalahnya tanpa khawatir dia bakal bikin kamu cemas atau khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
I See You (End)
Mystery / ThrillerBagi Veryn, hidup tanpa teman, sendirian, adalah cara hidup yang aman, dan nyaman. Sebagai seorang penulis novel fiksi, Veryn bisa dibilang lebih menikmati kehidupannya yang nyaris tanpa sosialisasi. Tapi kenyamanannya itu harus berakhir ketika Zelo...