Azel terbangun setelah ketukan dari arah pintu memekakkan telinganya. Bingungnya, saat ia terbangun bukan empuk kasur yang ia rasakan, tapi rasa pegal dengan punggung yang membungkuk dan kepala yang tergeletak di meja belajar berbantal buku-buku.
Azel meregangkan otot-otot tubuhnya saat mendengar suara teriakan sang ibu sekali lagi. “Zel, udah bangun belum, sih?”
“Udah, bu…” jawab Azel dengan suara serak khas orang bangun tidur.
“Hampir jam enam loh, ini. Nanti kamu ketinggalan angkot!” teriak Ibunya, padahal jika berbicara sedikit lebih pelan Azel masih bisa mendengarnya.
“Iya, bu, iya.”
Azel segera berjalan menuju pintu kamar lalu memutar kuncinya. Mendapati wajah garang ibunya terpampang membuatnya berlari menuju kamar mandi.
Selesai bersiap ke sekolah, Azel membereskan meja belajar saat melirik jam dan menunjukkan waktu yang sudah tidak bisa ditolerir apalagi untuk sarapan. Akhirnya, setelah Azel memasukkan asal buku pelajaran ke dalam tas, ia berlari menuju dapur untuk berpamitan dengan Sukma.
“Bu, Azel berangkat dulu.” Azel mengambil tangan kanan Sukma lalu menciumnya.
“Loh, nggak sarapan dulu?”
“Enggak, Bu. Udah mepet.”
Setelah mengenakan sepatu, ia berdiri merapikan seragamnya sekali lagi. “Bu, Azel berangkat dulu,” teriak Azel dari luar rumah.
“Eh, bentar,” seru Sukma tiba-tiba muncul dari pintu menghentikan langkah Azel. “Ini bekal buat kamu, dimakan.”
Tangan Azel terulur menerima kotak makan itu. “Makasih, Bu. Assalamualaikum.”
Azel setengah berlari meninggalkan ibunya yang berdiri menghela nafas melihat tingkah anaknya. Entah sejak kapan ia sadar bahwa Azel bisa sedewasa itu, bahkan sebagian beban yang dulu ia tanggung sendirian, Azel sudah berani menanggungnya.
***
Azel berdiri gelisah di tepi jalan yang mulai ramai. Tak sekali ia menghidupkan layar ponsel hanya untuk memeriksa jam. Angkot yang biasa ia tumpangi harusnya sudah sampai. Atau sudah lewat?
Azel mengusap wajahnya kasar. Ia menengadahkan kepalanya ke atas sembari berdo’a agar ia mendapat tumpangan menuju sekolah, jadi ia tidak terlambat.
“Ketinggalan angkot?”
Suara seseorang membuat mata Azel terbuka dan sontak menoleh ke kanan, dimana seseorang tengah duduk santai di atas motornya. Cowok berseragam mirip dengannya itu terlihat tidak asing bagi Azel. Kening Azel berkerut begitu mengingat siapa dia.
“Ngapain lo?” ketusnya tak nyaman ada cowok itu di hadapannya.
“Nungguin elo,” jawabnya santai masih di posisinya.
Kening Azel semakin mengerut dalam. Ia mendengus geli. “Sorry nih, ya, kalo tujuan lo cuma mau bikin gue baper, karena itu nggak akan terjadi.” Cowok itu diam, tidak membalas ucapan Azel. “Jadi mendingan lo jauh-jauh sono!” Azel mengibaskan tangannya meminta cowok itu menjauh darinya.
“Dih, ini tempat umum ya, siapapun boleh disini.”
Azel mencelos. “Yaudah, biasa aja kali,” ucapnya tak kalah sengit. Lalu cewek itu melangkahkan kakinya menjauh dari cowok itu. Paginya akan bertambah rusak jika ia terus melayani ucapan cowok itu.
“Nggak di sekolah, nggak diluar, sama aja ngeselinnya. Heran gue, napa cewek-cewek pada suka sama dia, sih?” gerutu Azel selama kakinya melangkah. Sebenarnya ia tak tahu harus melangkah kemana, jika ia berjalan akan memakan waktu lama. Bukan hanya terlambat, ia bisa pingsan jika berjalan ke sekolah.
“Kenapa? Takut kalah saing?” tiba-tiba suara yang sama menyebalkan itu terdengar dan kini tepat di sebelah Azel. Entah sejak kapan cowok itu mengikutinya. Dan ia berjalan dengan kaki, tidak menaiki motor yang tadi diduduki.
Azel menoleh kesal. “Ngapain, sih, lo ngikutin gue mulu?”
“Dih, ge-er, sekolah gue juga kesana kali.”
Cowok itu benar-benar membuat Azel terbakar emosi. Ia berdecak. “Duh, sorry nih, ya, pagi gue udah berantakan, jangan bikin gue tambah emosi!”
“Yaudah berangkat bareng gue aja,” ujarnya dengan alis yang dinaik turunkan.
“Kalo gue nggak mau?”
“Ya, pagi lo bakal lebih berantakan.”
Azel menghentikan langkahnya. Ia menghela berat. Dalam hati bertanya-tanya apa kesalahannya hingga cowok menyebalkan ini mengganggu paginya. Tapi kalau dipikir-pikir, sebenarnya ia menyelamatkan Azel dari terlambat sekolah.
Pergerakan Azel dianggap cowok itu menyetujui ucapannya. “Sippp, gitu dong nurut.” Ia berbalik menuju motor yang masih terparkir di tepi jalan itu. Setelahnya melajukan pelan sampai berhenti di samping Azel yang masih menekuk wajah. Ia mengulurkan helm yang membuat Azel keheranan.“Lo tambah cantik kalo lagi kesel.”
***
Dugaan Azel tentang ia akan dilihat oleh banyak siswa saat melewati gerbang sekolah, benar. Semua mata tertuju pada mereka. Begitu cowok itu menghentikan motor di tempat parkir, Azel segera turun dan melepas helmnya.
“Makasih,” ujarnya singkat lalu menjauhi cowok masih duduk diatas motor itu.
Azel melewati koridor yang benar-benar membuatnya muak. Pasalnya dipenuhi siswa yang sedang membicarakannya baik dengan bisik-bisik maupun terang-terangan. Padahal ia hanya berangkat bersama dengan cowok itu. Memang apa yang salah? Lagipula cowok itu yang menawarkan tumpangan. Kontras sekali dengan desas-desus yang didengar Azel tentang ia yang memaksa cowok itu untuk mengantarnya ke sekolah.
Azel mendudukkan tubuhnya kesal. Ia mencoba tak begitu peduli dengan rumor yang beredar tentangnya. Yang mungkin saja tidak sampai satu jam, sudah menjadi trending topic di sekolahnya.
“Wah, gilaaaa! Lo berangkat bareng Dirga, Zel?” tanya Arin membuat tingkat kekesalan Azel semakin bertambah. Sepertinya cewek itu benar-benar tidak memahami situasi.
“Diem, lo!”
Arin yang hendak melayangkan pertanyaan lain, mendadak diam mendengar Azel bertitah dengan nada dingin. Mungkin cewek itu sedang berada dalam suasana hati buruk, melihat banyak sekali orang mendesus tentangnya pagi ini.
Sampai guru pengajar pertama masuk ke dalam kelas, Azel diam saja. Tatapannya juga lebih dingin dari biasanya. Ia terlihat tidak bisa diganggu.
“Udah kali, Zel, nggak usah dipikirin. Namanya juga gossip. Anggap aja mereka fans lo,” kata Arin yang sudah jengah dengan diamnya Azel. Cewek itu memang pernah beberapa kali menjadi bahan perbincangan misalnya setelah marah-marah dihadapan gerombolan cowok paling terkenal di sekolah. Tapi hanya terjadi beberapa hari, setelahnya tidak didengar lagi desas-desus menyebalkan itu. Terlebih ketika mendekati ujian, pasti tidak ada orang yang berani membicarakannya di belakang. Semua orang berubah menjadi teman dalam sekejap.
“Maunya gitu, tapi ya susah, Rin,” keluh Azel menghela berat. “Gue cuma pengen hidup tenang aja susah banget.”
Bukannya iba, Arin justru terkekeh mendengarnya. “Kadang hidup itu harus diwarnain, Zel, biar nggak abu-abu amat.”
Azel menopang dagunya. Sejak awal pelajaran dimulai, ia tidak bisa fokus. Bagaimana sebuah rumor bisa begitu mempengaruhinya seperti ini?
***
Hola again!!!! Gimana puasanya?
Jangan lupa bintang yang dibawah itu ya hihihiii :D
Terima kasih sudah mendukung cerita ini, doakan saia konsisten biar kamu bisa baca sampai habis hehe :)
Happy reading❤️
withlove, me
KAMU SEDANG MEMBACA
BECANDA
Novela Juvenil"Becanda itu penting," katanya. "Serius juga penting, lo nggak bisa becandain semua hal," balasnya. "Termasuk lo?" Hope you enjoy the story, because belum bisa enjoy face doi❤️ Best pict on cover by pinterest