38 diambang batas

18 3 3
                                    

Happy Reading

***

Azel mengusap keringat di dahinya. Padahal mesin AC ruangan itu masih berfungsi dengan baik. Suhunya pun di atur rendah agar setiap sudut di ruangan ini terasa sejuk. Namun, mungkin hari ini Azel terlalu aktif makanya ia merasa sangat lelah dan berkeringat.

"AC-nya rusak apa gimana, Mbak?" tanyanya pada Ataya yang baru saja ikut duduk bersamanya diatas sofa.

"Enggak. Tapi emang gerah banget," sahut Ataya sembari mengipasi wajahnya yang juga berkeringat. "Kamu nggak pulang, Zel? Udah setengah 8, loh. Nanti kemaleman, kan kamu akhir-akhir ini sering pulang sendiri."

Ataya mungkin menyadari, Dirga jarang menjemputnya lagi. "Iya, ini mau pulang, Mbak."

Azel segera membereskan tasnya. Lalu berpamitan pada beberapa pekerja yang masih setia melakukan pekerjaan.

Azel memang merasa aneh. Beberapa hari ini tidak mendengar suara Dirga bahkan jarang melihat cowok itu lagi. Tidak ada pesan masuk yang sekedar menanyakan 'udah tidur?' di malam hari ketika ia baru selesai belajar. Tidak ada dering telfon yang berasal dari cowok pengganggu yang membuatnya rindu.

Ya, Azel merindukannya. Mungkin terdengar sangat menjijikkan. Namun, perasaannya tak bisa menipu.

Lalu lalang jalanan kota inilah yang semakin membuat kerinduannya memuncak. Menjadikan hal yang sangat jarang ia rasakan, meledak-ledak. Entah pada siapa ia harus melampiaskan, selain pada Dirga.

Azel menghembuskan nafas beratnya. Dering ponsel dari dalam saku jaket menarik perhatiannya. Ketika ia lihat layar itu, kata Ibu terpampang jelas dan nyata. Tanpa pikir panjang, digesernya tanda hijau untuk mengangkat panggilan.

"Halo, Assalamualaikum, Bu?"

"..."

"Iya?"

"..."

"Hah?"

Nafasnya tercekat di tenggorokan. Suara bising jalanan tak terdengar karena telinganya mendengungkan kalimat yang barusan ia dengar. Tiba-tiba, matanya mengitar ke seluruh sudut kota, berharap mendapat tumpangan pergi ke tujuannya.

Azel belum beruntung. Ia harus berjalan. Tidak. Azel tidak punya banyak waktu lagi untuk berjalan, ia harus berlari. Berlari secepat mungkin. Ia tak lagi peduli pada kendaraan umum yang mungkin lewat dan bisa membawanya ke tujuan lebih cepat. Ia terus berlari, tak peduli pada kakinya yang kelelahan bergantian menapak tanah. Tak peduli wajah kumalnya yang semakin berkeringat. Tubuh lelahnya yang semakin ingin luruh ke bumi. Yang ingin ia lakukan sekarang hanyalah...

Melihat ibunya.

***

Azel menatap nanar ruang operasi di depannya. Nyawa seseorang tengah dipertaruhkan di dalam sana. Jika ia bisa menukarnya, mungkin akan lebih baik jika Azel saja. Karena ia tidak siap kehilangan sang ibu.

Entah siapa yang memberi kabar, Arin tiba-tiba datang bersama Bara. Bahu Azel dipegang erat oleh sahabatnya itu. Gadis itu masih kuat, sampai akhirnya Arin menariknya ke dalam pelukan hangat membuat air matanya luruh.

"Ibu, Rin," lirihnya diantara isak tangis. Jika kali ini saja hatinya mengambil alih semua suara di dunia, mungkin semua orang bisa mendengar betapa keras hatinya berteriak.

Arin mengusap punggungnya. Sahabatnya itu tak keberatan sama sekali jika bahunya dijadikan tempat air matanya mengalir.

"Kita doain bareng-bareng, ya, Zel."

"Gue bahkan belum ngasih kado itu." Sebuah kalung yang sudah ia siapkan untuk sang ibu, masih tersimpan rapi dalam kotak hitam yang ia simpan di laci kamarnya. Seharusnya lusa ia memberikan kalung itu pada Sukma. Semoga.

BECANDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang