18 - kafe, Dirga, dan teman-temannya

50 4 0
                                    

happy reading❤️

***

Azel rasa hidupnya memang tidak ditakdirkan untuk terlepas dari manusia semacam Dirga. Dulu semasa SD, ada Gibran yang selalu mengganggu jam istirahatnya, menyambar bekal yang sering ibunya.

Dan sekarang, ada cowok yang Azel ketahui bernama Dirgantara Bima Atmaja. Menyebut nama itu, Azel jadi teringat kali pertama cowok itu sok berkenalan dengannya. Tanpa ada embel-embel Bima. Azel tak mau memusingkannya, toh mau namanya Bima atau Arjuna, ia tak peduli.

Arin sudah pulang lebih dulu dengan alasan nanti malam akan ada acara makan malam dengan kolega papanya. Entah apa itu, Azel pun tak tahu. Untuk ukuran gadis biasa yang sama sekali tak pernah masuk ke dalam bangunan perusahaan besar, Azel menyebutnya basa-basi yang basi. Dari beberapa cerita yang ia baca, mereka hanya membicarakan hal-hal menyangkut perusahaan, tidak ada percakapan menyenangkan yang bisa membuat mereka dekat.

Azel kini berjalan keluar kelas bersama Ify dan Bela sembari membincangkan masalah gadis itu yang direkrut menjadi panitia perlombaan akhir tahun. Tentu saja sulit membujuk gadis berkucir kuda yang hampir tidak pernah ingin bersangkutan dengan hal-hal yang membuatnya terlambat atau bolos bekerja.

“Fy, gue bukannya nggak mau. Tapi nggak bisa aja. Lo sendiri tau, jadwal kerja gue makin padet apalagi kalo udah mau akhir tahun,” tolak Azel.

“Zel, bisa kali lo berhenti kerja bentar. Lagian ini demi sekolah, masa sih, lo mentingin kerja gitu?”

Sekarang, ucapan Bela membuatnya hampir kesal. Mungkin bagi orang-orang seperti mereka, bekerja di usia Azel adalah hal tak penting. Azel sering mendapati pandangan rendah dari orang-orang yang mengetahui latar belakang keluarganya. Sebenarnya tidak banyak yang mereka ketahui kecuali Azel bukan anak orang kaya.

Gadis itu menghela berat, mencoba meredam emosi. “Bel, lo bisa cari orang lain, kan? Atau emang nggak ada yang mau jadi panitia?” Azel mengangkat sebelah alisnya. Ucapannya mungkin terasa menohok, tidak masalah, biar sepadan dengan ucapan Bela tadi.

Azel harus pergi cepat. Bahkan mungkin ia tak sempat pulang. “Sorry, gue sibuk,” ujarnya lalu berbalik pergi meninggalkan raut sedikit kesal pada wajah dua cewek yang tadi bicara padanya.

Azel melewati gerbang dengan tergesa. Ia masih harus menunggu angkot yang datangnya kadang tak tentu itu. Lima menit pertama sia-sia karena Azel hanya memandang miris jalanan.

Seseorang menyenggol bahunya dari samping. Azel langsung menoleh dan menghela kasar. “Apa?!”

Cengiran Dirga lagi!

“Balik bareng gue, yuk!”

Azel lihat motor Dirga terparkir di sebelahnya dengan dua helm diatasnya. “Ogah!”

“Lo buru-buru, kan?” tanya Dirga dengan seringaian.

Sial, cowok itu benar.

“Sok tau!” egonya masih bermain cantik. Matanya kembali menatap ke jalan yang dipadati kendaraan pribadi dan taksi.

Tanpa aba-aba, sedikit mengagetkan Azel, kepalanya sedikit sakit, tapi sebuah helm sudah bertengger di sana. Gadis itu sudah akan melepas kembali helm itu dan memaki cowok yang kini juga mengenakan helmnya. Tapi tangannya ditahan dan ditarik mendekati motor.

Ini momen langka! Azel menurut! Dengan wajah bodohnya, ia berdiri tepat di sebelah Dirga yang sudah duduk diatas motor. “Udah, nurut aja biar tambah cantik.”

Sebuah rasa tak bernama dengan gemetar di dada, terlalu menjijikkan untuk didengar tapi itulah yang dirasakan Azel. Jantungnya berdegup kencang dengan tempo lambat dan hampir berhenti jika Dirga tak memutus kontak mata mereka.

BECANDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang