Azel merutuk sepanjang jalan. Benar-benar tidak habis fikir dengan apa yang telah dilakukan cowok disampingnya itu. Ia tak pernah sekesal ini.
Pertama, dia membuat Azel berada di pilihan yang sulit. Tidak mungkin marah pada cowok itu di depan Sandra. Menolak pun tidak bisa karena Arin sudah mengiyakan terlebih dahulu. Namun Azel bersumpah akan membuat temannya itu tenggelam ke dasar laut.
Kedua, sekarang ia hanya berdua dengan Dirga di dalam mobil. Karena entah sejak kapan Dirga menyiapkan lima tiket menonton film terbaru dan memberikannya pada Arin. Hal yang membuat Azel tidak hanya terkejut, namun juga kesal.
Ketiga, sekarang mereka entah menuju kemana dan Dirga sama sekali mengabaikan permintaan Azel untuk pulang. Justru menganggap kekesalan Azel bagai lelucon yang biasa muncul di layar televisi.
“Gue pernah bilang kalo muka kesel lo itu gemesin, nggak, sih?”
Azel memutar bola matanya. Tubuhnya bersandar ke belakang dengan mata menatap ke luar kaca jendela.
“Laper nggak?”
“Nggak!”
“Haus?”
“Nggak!”
“Nonton mau nggak?”
“Nggak!!!”
“Mau pulang?”
“Enggak, ih!”
Kepala Azel sontak menoleh ke arah Dirga yang sudah tersenyum tanpa menatapnya.
“Kalo gitu kita jalan-jalan seharian.”
Ia menghela berat. Entah manusia jenis apa Dirga itu, yang jelas selalu berhasil membuat Azel gagal mengendalikan emosinya.
“Gue capek, deh, Ga.”
Senyum Dirga luntur. Ia menatap datar ke depan. Telinganya mendengar jelas ucapan Azel. Apa ia keterlaluan?
“Gue juga.”
Sahutan Dirga menolehkan kepala Azel. “Kenapa nggak istirahat?”
“Lagi cari rumah.”
Azel terkesiap. Ia tak pernah mendengar suara Dirga seserius itu. Bahkan tatapan Dirga benar-benar terlihat seperti orang kelelahan dan ingin berhenti dari sesuatu yang entah apa. Untuk pertama kalinya Azel melihat kerapuhan, mungkin.
“Nggak perlu punya rumah buat istirahat.” Meski tak mengerti maksud Dirga, Azel tetap menanggapi cowok itu.
“Tapi rumah adalah tempat paling nyaman.”
“Apa susahnya? Lo kan kaya. Tinggal beli.”
“Enggak semuanya bisa lo beli dengan uang, Zel.”
“Lo barusan ngelakuin itu.”
“Apa?”
“Nyogok temen gue.”
“Itu beda, Azel. Itu namanya usaha.”
“Buat gue itu sama aja.”
“Menurut lo belum tentu menurut orang lain juga.”
“Gue nggak peduli.”
“Kadang orang yang nggak peduli adalah orang yang paling peduli sebenernya.”
“Oh, ya?”
Dirga berdeham mengiyakan. Ia memutar kemudi ke arah kiri. Tidak ada percakapan lain setelahnya. Keduanya sama-sama diam dengan fikiran masing-masing.
Ucapan Dirga tentang rumah masih terngiang di kepalanya. Apa maksudnya? Lalu merambat ke percakapan tentang kepedulian. Padahal kuat-kuat sudah ia tolak bahwa ia peduli. Ia hanya penasaran. Itu hal yang berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
BECANDA
Roman pour Adolescents"Becanda itu penting," katanya. "Serius juga penting, lo nggak bisa becandain semua hal," balasnya. "Termasuk lo?" Hope you enjoy the story, because belum bisa enjoy face doi❤️ Best pict on cover by pinterest