Happy reading❤️
- ^^ -
Hari paling menyebalkan bagi seluruh siswa telah tiba. Seluruh remaja berseragam putih abu-abu itu berlalu lalang mencari ruang kelas tempat mereka akan mengerjakan soal ujian. Ada yang mengumpat karena terlanjur menaiki tangga, ternyata ruangan ada di lantai satu. Ada juga yang mengumpat karena mendapat tempat duduk tepat di depan pengawas. Selebihnya bergerombol saling membantu memasukkan materi ke dalam otak. Tunggu, ternyata ada juga yang mendadak alim dengan mengaji bersama di mushola atau sholat dhuha dan berdoa agar hari ini dan seterusnya lancar.
Azel sendiri berdiri di depan toilet, menunggu Arin yang minta ditemani. Sembari menatap ke atas, melafalkan beberapa kalimat yang tadi malam ia hafal. Tidak banyak karena jurusan IPA lebih mengandalkan rumus dan konsep. Lebih memudahkan katanya.
Kali ini ia akan satu ruangan dengan Arin. Gadis itu akan duduk berselang satu meja di belakang Arin. Dimana keduanya harus bersebelahan dengan kelas anak IPS masih dari jenjang yang sama. Nah, disaat Arin sejak tadi histeris ingin memberitahu kelas mana yang akan satu ruangan dengan mereka, Azel menahan sahabatnya itu. Alasannya? Buang waktu. Satu detik pernyataan yang akan diberikan Arin, akan memicu satu jam berikutnya untuk Azel harus mendengar celotehan cewek itu.
Azel menoleh saat Arin keluar dari toilet. Mereka berjalan berdampingan menuju kelas. Ujian masih dimulai empat puluh lima menit lagi. Begini, ujian dimulai pukul setengah delapan. Sementara sebagian besar siswa sepertinya sudah nyaman berangkat sebelum pukul tujuh bahkan setengah tujuh sudah sampai di sekolah.
“Eh, Zel, omega itu momentum sudut, kan?” tanya Arin saat mereka belajar di bangku bernomor ujian milik Azel.
“Bukan. Kecepatan sudut,” jawab Azel tanpa menoleh. Ia mengulang penghitungannya tadi malam.
Arin tampak mengangguk-angguk mengerti. Tapi cewek itu mengerutkan kening lagi. “Lah, ini periode sama tegangan simbolnya sama, gimana mau tau coba?”
Azel melirik Arin sekilas. “Kan di soal pasti dijelasin, lagian Bu Diana nulis simbolnya nggak sama persis.”
“Ini apa lagi coba?” Arin menggaruk keningnya. Menyodorkan buku ke Azel untuk bertanya.
“Gama.”
“Buat?”
“Tegangan muka itu, woi! Elah, disitu udah ada juga.” Azel menunjuk tulisan di buku catatan Arin gemas.
Arin menampilkan cengiran. “Hehe…nggak liat.”
“Halah, mata lo kalo liat cogan aja seger.”
Dua orang berdiri di samping meja Azel. Cewek dengan rambut sedikit kecoklatan yang terurai tersenyum menatap Azel yang sedikit kebingungan.
“Zel, entar gue nanya, dijawab, ya?” kata Jessica.
“Iya, Zel. Gue duduk di sono tuh,” Airin, cewek yang rambutnya disanggul sampai memamerkan leher jenjangnya menunjuk ke satu meja paling depan. “Jangan lupa kode.”
Setelah mereka pergi, barulah Azel memutar bola mata jengah. Bahkan keduanya tidak mau mendengar jawaban Azel terlebih dahulu. Dilihatnya dua cewek itu mulai bergabung dengan teman-temannya yang lain, bergerombol. Melakukan apa lagi jika bukan gossip?
“Bego banget lo kalo ngasih jawaban ke mereka,” celetuk Arin menurunkan tatapan dari cewek-cewek ber-rok pendek itu.
“Jangan panggil Azel kalo gue ngasih jawaban ke mereka.”
Lalu ujian-ujian sebelumnya? Tentu saja Azel pura-pura tidur, padahal ia sedang berfikir. Lalu setelah mendapat jawaban, diangkatnya kepala dan menyilang lembar jawab. Saat ia dengar desisan dari teman-temannya, ia berlagak tak mendengar dan kembali mendaratkan kepala di atas meja.
Azel bukan pelit. Sesekali ia memberi jawaban ke teman-temannya. Tapi bagaimana perasaanmu ketika mereka meminta hampir semua jawaban? Apalagi ketika nilai sudah dibagikan, milik Azel tak sampai separuh dari milik mereka yang sempurna.
Azel bukan pecandu nilai. Ia tidak pernah belajar keras hanya karena tinta diatas kertas. Ia hanya merasa tidak adil. Disaat ia berusaha mati-matian, nilai bagus selalu menyertai mereka yang bodo amatan. Meski pada akhirnya, ia tidak pernah luput dari urutan lima besar.
Suara bel tiga kali membuat panik semua orang. Arin membolak-balik buku, membaca sekilas namun berharap dalam melekat di otaknya. “Anjir, gue belum hafal semua rumusnya.”
Semua berhamburan keluar kelas untuk meletakkan tas di tempat yang disediakan. Azel kembali memasuki ruangan yang akan diisi empat puluh siswa dimana setengah dari kelas Azel dan setengah dari kelas lain.
Dua guru pengawas masuk sedikit tergesa membawa amplop cokelat besar. Salah satunya duduk di depan papan tulis dan satunya lagi di kursi paling belakang.
“Sudah lengkap?”
Azel menoleh ke sampingnya. Masih belum menempati. Ternyata masih ada empat kursi dari kelas lain yang belum ditempati. Tapi tunggu, sepertinya Azel mengenali beberapa orang dari kelas lain itu.
Tiba-tiba semua dikejutkan oleh empat orang yang masuk ke dalam kelas, mendekati pengawas di depan. Azel terpancing untuk membelalak dan mengumpat lirih.
“Maaf, Pak. Kami telat,” ujar salah satunya.
“Yaudah, cepat!” titah guru itu.
Seketika gadis berkucir kuda itu memaki nomor absennya. Untungnya, Daren yang duduk disampingnya. Tapi tepat di belakang cowok itu, ada Dirga.Mungkin keadaannya tidak akan rumit, Azel tidak akan merasa tidak nyaman jika cowok bermata cokelat itu tidak memancing kehebohan jantungnya tempo hari.
“Widih, sama Mbak Azel, nih. Mas Dirganya di belakang tuh, nggak niat mau nyapa?” celetuk Daren membuat telinga Azel mendadak menegang. Ia berdoa supaya tiba-tiba Dirinya tidak terlihat oleh Dirga.
“Berisik! Diem!” lirih Azel tajam melirik sinis Daren yang baru duduk meletakkan satu pulpen diatas meja.
“Aishhh, suka banget ya, duduk deket Mas Dirga?”
Azel masih sangat ingat, tempo hari Daren memanggilnya dengan sebutan ‘Neng’ dan Dirga dengan sebutan ‘Aa’. Dan hari ini beda lagi.
“Males banget duduk deket lo tau, Ren.” Azel menggeser duduknya menjauh dari Daren. Pokoknya, gadis kucir kuda itu sedang sensi dengan semua hal yang berbau Dirga, baik itu teman-temannya sekalipun.
“Jadi kapan nih, makan-makan official-nya?” Daren terus saja melempar godaan ke Azel bahkan setelah guru pengawas membagikan soal.
“Makan tuh soal! Bacot aja dari tadi.” Azel menunjuk kesal sodoran soal yang diterima Daren dari orang di depannya.
“Yaelah, Mbak. Galak amat. Kayak cewek pengen dihalalin aja.” Daren memancing beberapa orang disekitar mereka menahan tawa.
Gadis yang tengah mengisi biodata di lembar jawab itu memutar bola mata. “Lo pikir gue babi, hah?!”
Dan mereka yang terkekeh tadi melirik Azel, terkejut. Lalu menahan tawa yang ingin meledak.
“Iya, juga ya, lo kan nggak haram, Zel—Au!” Daren mengusap kepalanya yang sakit akibat pukulan pulpen dari belakang. Cowok itu menoleh dengan kening berkerut. “Apasih, woi!” protesnya lirih, takut guru pengawas mendengar.
“Diem!” Cowok itu memandang Daren horor.
Dalam sekejap Daren mengubah ekspresi dengan cengiran tak berdosa. “Iye, iye, cemburu amat, kagak gue ambil.”
Azel yang baru saja menyilang huruf A di nomor lima lembar jawabnya, melirik tajam. Lalu memilih tak peduli karena dua jam bukan waktu yang lama untuk mengerjakan dua puluh lima pilihan ganda dan lima uraian soal fisika. Mengingat gama, omega, dan inersia lebih penting dari memikirkan orang di belakang Daren saat ini.
***
the queen is coming back here, say hello please
Star-nya dipencet jangan diem-diem bae hehe
withlove, del
KAMU SEDANG MEMBACA
BECANDA
Fiksi Remaja"Becanda itu penting," katanya. "Serius juga penting, lo nggak bisa becandain semua hal," balasnya. "Termasuk lo?" Hope you enjoy the story, because belum bisa enjoy face doi❤️ Best pict on cover by pinterest