Rasa pusing di kepala Azel masih sedikit tersisa. Ia memaksa masuk sekolah karena hari ini ada ulangan matematika yang tidak ingin ia lakukan sendirian di ruang guru. Lagipula ia sudah mempersiapkannya sejak seminggu lalu. Artinya, ia sudah berusaha maksimal untuk mendapat nilai bagus di ulangan kali ini.
Dengar, matematika bukan mata pelajaran yang bisa disepelekan Azel. Gadis itu merasa matematika adalah musuh terberat sekaligus senjata terkuatnya. Azel bisa membenci sekaligus mencintai bidang itu. Bayangkan betapa rumit gadis itu mendefinisikannya.
Azel masuk ke dalam kelas dan melewati sapaan dari beberapa teman-temannya, yang kebanyakan bertanya tentang kondisinya. Azel menjawab dengan kata yang sama, “Baik.”
Azel melihat Arin sedang fokus dengan soal-soal di buku bahkan sampai tidak menyadari kedatangan Azel. Gadis itu menarik earphone yang menyumpal telinga Arin sampai temannya itu berdecak kesal dan melempar tatapan tajam ke arah samping.
Azel memasang wajah datarnya sembari mengambil posisi duduk.
“Lo nggak bisa liat temen lo jadi rajin sebentaaaaaarrr aja?”
Azel mengangkat bahunya acuh lalu mengambil buku dari dalam tas. Mulai mengulang kembali materi yang sudah ia pelajari. Tadi malam gadis itu tak sempat belajar karena pusing menghajar kepalanya begitu keras.
“Lo udah ke dokter, Zel?” tanya Arin yang mengurungkan niat mengenakan lagi earphone-nya.
“Belum.”
“Tapi udah minum obat, kan?”
“Dih, tumben lo perhatian ke gue?”
Arin memutar bola matanya. “Gue baik, salah sangka. Gue jahat, dijahatin balik. Mau lo apa, sih, njir!”
Azel tertawa tertahan mendengar kekesalan Arin. “Weee, selow aja, Neng. Lagian lo sensi amat sepagian.”
Arin jadi mengingat sesuatu yang terjadi ingin ia ceritakan. Ia menatap Azel dengan tatapan yang membuat Azel penasaran. “Apa?”
Arin beralih mengambil ponsel diatas mejanya. “Gue di chat Bara, masa?” gadis itu membuka sebuah ruang chat dan menunjukkannya pada Azel.
Dengan sedikit antusias, Azel melihat ke layar ponsel. “Lah, bagus, dong. Bukannya dari dulu lo nge-fans sama nih anak?”
“Dih, bahasa lo nge-fans. Ogah gue.” Arin bergidik ngeri, seolah membayangkannya saja tidak mau.
“Kenapa lo? Biasanya aja kayak orang gila ngomongin si Bara ini.”
“Gue baru nyadar kalo playboy-nya tuh anak menjijikkan banget. Kayak apa, ya? Semua cewek yang dia temuin itu digombalin.”
Azel sontak tertawa mendengarnya. “Lo udah tau dari dulu kalo Bara itu playboy.”
“Iya, tapi enggak banget, lah. Geli gue lama-lama. Liat aja tuh cara dia nge-chat.” Arin menyodorkan ponselnya ke Azel. Temannya itu membaca chat dimana didominasi oleh Bara yang dengan kalimat menggelikannya mencoba mendapat balasan panjang dan responsif dari Arin. Belum sampai akhir, Azel tertawa terpingkal-pingkal.
“Kemarin aja waktu gue nemenin lo, kan ada si Dirga tuh. Nah, dia nyuruh gue di dalem waktu gue pengen keluar. Waktu Bara sama Riski dateng, gue awalnya nggak nyangka gitu. Tiba-tiba si Bara ini ndeketin gue dengan cara yang enggak banget. Dia duduk disamping gue terus bahas hal-hal yang sumpah kalo lo jadi gue bakalan pengen nenggelamin kepalanya ke laut—”
Azel mendengarkan cerita Arin dengan tertawa di sela-selanya. Sampai seorang guru datang membawa tumpukan kertas membuat para murid di dalam kelas itu mengeluh. Padahal sejak kemarin mereka mendoakan agar ulangan di tunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
BECANDA
Fiksi Remaja"Becanda itu penting," katanya. "Serius juga penting, lo nggak bisa becandain semua hal," balasnya. "Termasuk lo?" Hope you enjoy the story, because belum bisa enjoy face doi❤️ Best pict on cover by pinterest