Happy reading ❤️
- -
Dirga memang sering pulang dengan senyum lebar, sampai Dinara mengiranya gila. Semua itu karena ia selalu punya suasana hati yang baik. Bahkan jika saat pulang, motornya mogok di tengah jalan karena lupa mengisi bensin. Atau setelah menunggu setengah jam, eskul futsal tiba-tiba ditunda. Baginya, semua itu bukan masalah besar yang harus ia tanggapi berlebihan. Lagipula marah-marah tidak akan membuat masalah selesai.
Dengan senyum yang mungkin lebih lebar dan alasan besar, Dirga melewati pintu setelah mengucap salam. Sandra yang tengah duduk diatas sofa dengan alat rajutnya, menoleh. Terbiasa dengan senyum Dirga, namun terkejut dengan sikap Dirga yang tiba-tiba memeluknya dari samping.
“Ngapain kamu?” Sandra tertular senyum Dirga.
“Dirga sayang mama.”
“Lepasin, ah. Kayak anak kecil aja.”
Dirga melepas pelukan, namun senyumnya masih sama berkembang. “Dirga ganteng, ya, Ma?”
“Ih, kamu gila, ya?” Dirga bergidik mendengar ucapan Dirga.
“Jahat ngatain anak sendiri gila.”
“Ya, abis ngapain kamu nanya-nanya kayak gitu ke mama? Ha? Mau mama pukul? Udah gitu ngerusak rajutan mama. Udah sana!”
Ekspresi Sandra yang berubah garang, membuat Dirga urung memeluk kembali mamanya. Dengan gerakan kilat, cowok itu berdiri dan menjauh dari mamanya yang sudah bertanduk merah.
“Galak bener nyokap gue.” Cowok menggaruk kepalanya ketika masuk ke dalam kamar.
Ia melempar tas ke atas tempat tidur lalu menghantamkan punggungnya ke sana. Sepatunya menapak lantai, matanya menerawang langit-langit. Ingatannya terputar ke beberapa saat lalu, dimana Azel tidak keberatan sama sekali diantar pulang olehnya. Dimana selama ini dia harus selalu memaksa, kali ini dengan senang hati gadis itu duduk diatas motor dengan tangan melingkar sempurna di perutnya.
Mengingatnya saja menyenangkan hati Dirga berkali lipat. Sampai ia baru menyadari sebuah kotak hitam kecil di atas nakas menunggu untuk dibuka. Cowok itu tak ingat pernah menyimpan benda yang setelah dibuka berisi jam tangan merk ternama. Ternyata di dalam kotak itu juga terselip kertas yang dilipat sangat kecil. Cowok itu tertarik untuk membukanya.
Yang dilihat pertama, kumpulan kalimat yang dirangkai pada sebuah paragraf yang benar-benar apik. Dan tanda nama dipojok kanan membuatnya mengernyit sekaligus kehilangan nafsu untuk tersenyum. Lagipula seingatnya nama itu tidak pernah bisa membuat sesuatu menjadi sangat berharga sampai menulis kalimat sepuitis ini. Dirga yakin, dia membayar orang untuk semua ini atau paling tidak mencuri dari buku-buku puisi.
“Shit!”
Geram, cowok itu melempar kotak jam tangan beserta isinya ke dalam tempat sampah di samping pintu. Seolah harga yang tertera di toko tempat jam tangan itu terpajang tak berarti apa-apa. Jangan lupakan secarik kertas putih yang berakhir mengenaskan setelah dieksekusi kecil-kecil olehnya.
***
Belum tentu sampai tujuan, tapi jika diajak menyusuri dengan gandengan tangan, mengapa ditolak?
Itu yang terlintas di fikiran Azel saat ia menanggapi ucapan Dirga. Setelah mendengar bahwa siapapun yang selama ini menghantui fikiran Azel bukanlah pacar Dirga, memang alasan apalagi yang harus ia utarakan untuk menolak cowok itu?
Ia memang masih remaja labil, tapi mencoba sekali lagi tidak masalah, kan?
Senyumnya terpancar bahkan setelah Dirga menghilang dari pandangannya sejak setengah jam lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BECANDA
Teen Fiction"Becanda itu penting," katanya. "Serius juga penting, lo nggak bisa becandain semua hal," balasnya. "Termasuk lo?" Hope you enjoy the story, because belum bisa enjoy face doi❤️ Best pict on cover by pinterest