Entah apa salah Azel, gadis itu merutuk sejak cowok di depannya ini berhasil menaikkan angka kemarahannya. Yang lebih menyebalkan lagi, cowok itu hanya tersenyum tengil. Membuat Azel benar-benar ingin menguburnya hidup-hidup.
“Sebenernya gue salah apa, sih, sama lo?” tanya Azel sudah lelah dengan semua gangguan Dirga.
Senyum Dirga memudar. Cowok itu terlihat berfikir. “Nggak ada.”
“Plissss banget, nih, ya. Gue pengen hidup tenang, aman, tentram.”
“Oh, lo kode?”
Azel menjatuhkan bibir bawahnya. Gadis itu kehabisan akal untuk membuat Dirga memahami maksudnya. “Gini hlo, Ga.” Azel selangkah mendekat ke arah Dirga, lalu merangkul bahu cowok itu.
“Lo liat disana banyak cewek cantik, kan?” Azel menunjuk ke arah kerumunan cewek-cewek dengan seragam yang didesain semenarik mungkin agar para cowok melirik ke tubuh mereka.
Dirga mengangguk. Persis seperti anak kecil. Bahkan Azel ingin tertawa.“Jadi mending lo gangguin mereka. Faedahnya lebih keliatan.”
Dirga yang tak mau melihat ke arah kerumunan itu lama-lama, menoleh ke wajah Azel. Dahinya berkerut. “Jadi lo nyuruh gue deketin mereka?”
Azel melepas rangkulannya, menjentikkan jari. “Nah, tuh, lo paham.”
Dirga berfikir dengan mata melihat ke atas. “Ehm…gue kan maunya deketin lo, Zel.”
Azel menghembuskan nafas kasar. “Serah lo, deh!” Gadis itu menghentakkan kaki ke tanah, meninggalkan Dirga.
Azel sudah tau, Dirga pasti mengikutinya dan sekarang cowok itu menyamai langkahnya. “Jadi boleh?”
“Emang kalo gue bilang nggak boleh, lo mau berhenti?”
“Ya, enggak, lah. Masa belum mulai udah berhenti?”
Azel diam. Menjawab Dirga hanya akan membuatnya naik pitam. Kesal dan sebal seperti sedang menonton kartun Masha and the bear dimana anak kecil itu selalu mengganggu ketenangan si beruang.
Saat Azel akan berjalan lurus menuju gerbang sekolah, Dirga menarik tangannya paksa untuk berbelok ke arah tempat parkir. Awalnya Azel memberontak, tapi tangan kecilnya tak cukup kuat melawan cekalan kuat Dirga. Akhirnya ia memilih pasrah dengan tampang kesal sampai mereka berhenti di dekat motor Dirga.
“Nih,” Dirga menyodorkan helm , tersenyum kecil melihat ekspresi kesal Azel. “Semakin sering muka lo kesel, semakin sering gue gangguin lo.”
Azel mendongak. Menatap tepat di manik Dirga. Sebenarnya, ia tak pandai membaca fikiran seseorang dari matanya. Apalagi ia bukan bocah puitis yang selalu mengibaratkan bahwa sesuatu yang tersembunyi bisa dilihat dari mata seseorang.
Yang ia dapatkan hanya iris cokelat gelap yang menatapnya teduh dengan senyum yang sejenak membuatnya sedikit luluh.
***
Azel tertegun ketika Dirga memberhentikan motornya di depan rumahnya. Padahal terakhir kali ia diantar cowok itu, rumah yang ia tunjukkan adalah rumah Tante Wati.
Azel turun dari atas motor dan memeluk helm yang sudah terlepas. Gadis itu menggaruk tengkuknya. “Ngapain lo berhenti di sini?”
“Loh, emang mau berhenti di KUA? Nggak papa kalo udah siap.”
Azel berdecak. “Bisa nggak sih, sedetik aja nggak becanda?”
“Kalo lo udah siap diseriusin, gue berhenti becanda, kok.”
Azel mengusap wajahnya kasar. Lihat, berapa kali Azel mengulang gerakan kesalnya. “Males ngomong sama tukang batagor.”
“Suka ngomong sama calon pacar.”
KAMU SEDANG MEMBACA
BECANDA
Teen Fiction"Becanda itu penting," katanya. "Serius juga penting, lo nggak bisa becandain semua hal," balasnya. "Termasuk lo?" Hope you enjoy the story, because belum bisa enjoy face doi❤️ Best pict on cover by pinterest