7 - sakit

71 5 0
                                    

“Emang dia kenapa?”

Arin sedikit terkejut saat tadi seorang cowok masuk ke dalam ruang UKS. “Nggak tau, tadi tiba-tiba pucet gitu mukanya,” jawabnya sedikit canggung.

“Udah makan?”

“Tadi istirahat pertama sih, ke kantin.”

Cowok itu tampak mengangguk-anggukkan kepala, memandangi Azel yang masih setia menutup matanya. Ia bersyukur tidur gadis itu sama sekali tak terganggu.

“Lo mau nemenin dia?” tanya Arin melihat Dirga tampak ingin duduk menunggu Azel bangun.

“Iya.”

“Oh, yaudah. Gue keluar.”

“Eh, jangan. Nggak baik cewek sama cowok di dalem ruangan berdua doang. Ya, walaupun gue mau, sih.”

Arin tampak berfikir. “Gitu, ya?” Ia menggaruk tengkuknya, mengiyakan ucapan Dirga dalam hati. Tapi ia merasa canggung apalagi terkadang ia tertangkap basah sedang membicarakan tentang cowok itu dan teman-temannya.

“Bentar lagi temen gue dateng, kalo lo ngerasa nggak nyaman,” ujar Dirga memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Ia baru saja meminta Riski dan Bara untuk segera ke UKS.

Arin beralih duduk di kursi dekat pintu masuk memainkan ponsel untuk menyembunyikan kecanggungan, sementara Dirga duduk disamping tempat tidur mengamati Azel. Padahal seingat Arin, Dirga belum lama mengenal Azel. Jika sekedar tahu, mungkin sudah lama. Tapi ia menyadari akhir-akhir ini cowok itu lebih sering mengganggu Azel secara personal dibanding berbondong-bondong bersama teman-temannya.

Tiba-tiba pintu disamping Arin terbuka. Saat cewek itu menoleh, betapa kagetnya ia melihat dua cowok berwajah tampan yang selama ini ia bicarakan diam-diam dengan teman-temannya, hari ini datang dan berada satu ruangan dengannya.

Riski dan Bara yang baru masuk terlihat bingung. “Ngapain lo nyuruh kita kesini?” tanya Bara dengan suara baritonnya.

“Sssttt…” Dirga meletakkan telunjuk di bibirnya, memberi isyarat pada temannya untuk diam. Kebisingan mungkin bisa mengganggu Azel.

“Paan, Njirrr.”

“Lo nggak liat ada orang tidur?”

“Lah, terus?”

“Diem, Nyet!” umpatnya lirih dengan mata menatap Bara tajam.

“Yaelah, Sapi! Bilang aja mau modus!” ujar Bara kemudian berjalan menuju meja. Saat melihat Arin, ia menatap cewek itu dengan dahi berkerut. Arin pun menatapnya sejenak.

“Eh, ada cewek.” Bibir Bara menyunggingkan senyum. Ia bergerak mendekati Arin. “Kenalin, gue Bara. Duh, pasti lo udah kenal, ya?”

Melihatnya, Riski terkekeh dan Dirga memutar bola mata malas. Lihat, siapa yang sedang modus!
Dirga tak lagi peduli dengan Bara yang mulai gencar mencoba berbicara dengan Arin yang ditanggapi singkat oleh cewek itu.

Beberapa menit, Dirga melihat Azel sedikit memperbaiki tidurnya. Tapi ternyata gadis itu terbangun. Begitu melihat Dirga duduk disamping tempat tidurnya, Azel terperanjat hingga duduk dengan mata membulat. Melupakan pening yang mulai memudar.

“Ngapain lo?!” ketusnya. Ia mengitarkan pandangan dan betapa terkejutnya ketika ada Arin dan dua teman cowok itu satu ruangan dengannya.

“Nungguin lo bangun,” jawab Dirga santai.

“Dih,” risihnya. Ia jadi teringat beberapa saat lalu, Dirga dan teman-temannya bersikap seolah tidak mengenalnya dan Azel bersyukur tentang itu. Tapi sekarang, Azel kembali diingat oleh cowok-cowok menyebalkan itu. Apalagi sekarang Bara terlihat duduk di dekat Arin yang jelas-jelas tidak suka dengan tindakan cowok itu.

Azel mengangkat tubuhnya turun dari atas tempat tidur yang tentu saja menyita perhatian Dirga. “Eh, mau kemana lo?”

“Balik kelas.”

“Jangan, woi. Baringan sana, gih!” perintah Dirga hanya dianggap angin lalu karena Azel sudah akan menggunakan sepatunya. Yang terjadi itu membuat Riski, Bara, dan Arin memperhatikan mereka. “Heh, lo bangun aja belum, Zel.”

Selesai dengan sepatunya, Azel berdiri tegak dan menerima rasa pening yang sedikit menyerangnya.

Dirga melirik jam yang sebentar lagi menunjukkan waktu pulang. “Batu banget, sih!” cowok itu berdiri di depan Azel yang memandangnya kesal.

“Bacot banget, sih!”

Riski yang tengah fokus pada game-nya menoleh, takjub dengan ucapan Azel. “Wow, selow dong, Neng. Ngegas amat.”

Sementara Bara sudah terkekeh. “Tau. PMS, ya?”

Entah di angka berapa emosinya sekarang. Azel semakin kesal. Entahlah. Tapi bagi gadis sepertinya, mendengar celotehan tak berguna dari cowok itu membuang waktu. Apalagi ucapan mereka terdengar menyebalkan.

Tanpa berkata lagi, Azel melewati Dirga yang kali ini membiarkannya pergi. “Yuk, Rin!” Ia keluar dari ruangan itu terlebih dahulu lalu diikuti Arin di belakangnya.

“Emang kepala lo udah nggak pusing, Zel?” tanya Arin menyamai langkah Azel.

Azel memijat pelipisnya. “Menurut lo, kepala gue baikan gitu kalo ada mereka?”

Arin mengiyakan dalam hati. “Terus sekarang mau balik kelas?”

“Iya, lah.”

Tepat, bel tanda pulang berbunyi nyaring. Koridor yang awalnya sepi, mendadak ramai oleh siswa yang berhambur keluar. Pusing di kepala Azel mendadak kembali. Berkali-kali ia berusaha menguatkan  tubuhnya yang ingin berbaring nyaman.

Setelah sampai di dalam kelas, Azel membereskan buku-buku yang masih berhambur di mejanya. Ia tak langsung pulang, kepalanya ia letakkan diatas meja untuk mengurangi rasa pusing.

“Kan, bener yang dibilang si Dirga. Lo, sih, ngeyel.”

Azel bahkan keberatan untuk membuka mata.

“Duh, gimana ya?” Arin tampak sedikit kebingungan. Tidak ada lagi yang tersisa di kelas itu selain mereka. “Gue pesenin taksi aja, ya?”

Samar, Azel mengangguk. Cewek itu juga tidak mungkin mengambil resiko dengan naik angkot. Bisa pingsan di jalan.

“Dia gue anter aja.”

Arin mengurungkan niatnya memesan taksi online. Seorang cowok berjalan ke arah mereka dengan ekspresi datarnya. “Yuk!”

Azel menggeleng pelan. “Nggak mau. Cepet, Rin, pesenin taksi.”

“Masih aja batu.”

“Gue nggak percaya lo bakal nganterin gue balik dengan selamat,” racau Azel, matanya bahkan sudah tidak bisa terbuka. Kepalanya benar-benar berputar.

“Lo balik aja,” ujar Dirga menatap Arin. Menyadari cewek itu sedikit enggan mengikuti ucapannya, Dirga melanjutkan, “Lo bisa percaya sama gue. Seenggaknya lo nggak sebatu temen lo ini.”

Arin berfikir sebentar lalu mengangguk, dan cewek itu pun meninggalkan Azel dan Dirga. Cowok yang seragamnya keluar itu mengambil tas Azel dan menggendongnya dengan satu bahu.

“Mau ngapain lo?” Azel menegakkan tubuh, melawan rasa pusingnya.

Dirga bergerak terlalu tiba-tiba, sampai Azel baru menyadari tubuhnya sudah di papah cowok itu. Tidak ada perlawanan dari gadis itu karena di detik selanjutnya, kesadarannya hilang. Membuat Dirga dengan senang hati menggendong gadis itu menuju mobil.

***

Haiiiiiyyaaaaahhaiiiii

Semoga corona cepet pergi ya, sebelum kita terlanjur sayang, kan ribet entar urusannya.

Hayo siapa nih yang suka ditinggal pas lagi sayang-sayangnya? Halah, basi. Gitu aja kok patah hati. Cari yang baru dong haha kalau perlu cari 3 sekaligus.

Engga engga, sesuai judul, becanda heheh
Malah kalo bisa diperjuangin, perjuangin!!! Karena nggak ada perjuangan yang sia-sia waaseeeekkkkkk

Happy reading ❤️

withlove, me

BECANDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang