Happy reading❤️
***
“Kantin yuk, Zel!” ajak Arin setelah bel istirahat berbunyi.
“Enggak ah, gue bawa bekal.” Azel mengeluarkan kotak makan dari dalam tasnya.
“Dih, tumben.”
“Lupa sarapan.”
Arin menganggukkan kepala. “Pantes dari tadi kayak macan.”
Azel mendengus mendengarnya. “Lagian gue males denger bacotan cewek-cewek uler.”
“Yaudah, kalo gitu gue ke kantin dulu, laperrrr.” Arin melenggang keluar kelas meninggalkan Azel dengan makanannya.
Bekal yang disiapkan ibunya hari ini hanya nasi goreng dengan telur dadar yang di potong tipis-tipis. Sederhana, tapi rasanya sangat menggoda lidah Azel untuk menghabiskan makanan itu. Ibunya memang juara soal memasak, tapi juga master dalam bidang marah. Mungkin kejutekan Azel turun dari sang Ibu.
Kelas yang terbilang sepi, hanya diisi oleh beberapa siswa yang mengaku sedang berpuasa, terpecah sejak kedatangan seorang cowok dengan tampang tak bedosa mendekat ke tempat duduk Azel. Cewek yang sedang makan itu tersedak. Ia mengambil botol air minum dan menandaskan seperempat isinya saat cowok itu berdiri disampingnya.
“Segitu kagetnya liat gue sampe kesedak,” kekehnya.
“Gue kira lo nggak ke kantin gara-gara takut ketemu gue, eh, taunya bawa bekal,” ujar Dirga dengan tingkat kepedean yang membuat Azel ingin memuntahkan semua makanan yang sudah ia telan.
“Ngapain lo ke sini?” ketus cewek itu. Ia masih ingat dan tidak akan pernah lupa cowok itu yang menciptakan kehebohan di sekolah hanya karena Azel berangkat bersamanya.
“Gue kangen, sih, sebenernya. Tapi entar lo marah,” ucap cowok itu dengan santainya.
Azel mengerutkan keningnya. “Dih, nggak jelas banget, sih. Udah sana! Gue jadi nggak selera makan gara-gara lo.” Azel hampir menutup kotak makannya sebelum tangannya ditahan.
“Dihabisin, dong, Zel. Kasian nyokap lo udah susah payah masak, malah nggak lo habisin makanannya.”
Mendengarnya Azel semakin mengerutkan kening. “Tau dari mana lo, nyokap gue yang masak?” Azel tahu, pertanyaan itu seharusnya tidak terlantur dari mulutnya. Tapi ia penasaran dengan apa yang dilakukan cowok itu. Bahkan Dirga tahu tempat biasa ia menunggu angkot dan sekarang tahu bahwa ibunya yang memasak bekal.
“Tuh, kan, insting calon itu selalu bener.”
“Calon?” Bukan hanya Azel, siswa yang sedari tadi memperhatikan mereka ikut terbingung.
“Calon masa depan.” Cowok itu mengucapkannya dengan raut yang bagi Azel menyebalkan ditambah alis yang naik turun menggodanya.
Beberapa cewek yang ada di kelas itu terdengar luluh atas ucapan Dirga. Kontras sekali dengan Azel yang justru bergidik geli. Membayangkan Dirga berada di depannya saja sudah memuakkan, apalagi jika cowok itu menjadi masa depan. Azel bisa mati menahan mual.
“Banyak bacot nggak guna, deh, lo!” Disaat cewek lain merasa tersanjung atas ucapan Dirga, Azel justru mengumpat mendengarnya.
“Astagfirullah, Azel!” Dirga mengusap dadanya sabar. “Nggak boleh ngomong kasar sama calon sendiri.”
“Calon moyang lo! Seenak jidat aja kalo ngomong!”
“Lah gue pengennya jadi calon pacar lo, bukan calon moyang lo, Zel.”
Cewek-cewek di kelas itu terus saja merasa terbang padahal bukan mereka yang dimaksud Dirga. Azel sudah menahan rasa kesalnya dari tadi. Tapi kali ini ia mulai naik pitam. “Anjir, nih orang beneran bikin gue darah tinggi.”
“Eh, jangan dulu, dong. Gue kan masih pengen menghabiskan masa tua bersamamu.”
Lagi, cewek-cewek itu memekik seolah hatinya sedang berbunga-bunga. Azel mengakui gombalan yang dilanturkan Dirga memang bisa membuat siapa saja yang mendengarnya terbang tinggi diatas awan. Tapi satu hal lagi yang Azel akui, Dirga itu receh, kayak koin lima ratusan yang biasa dipakainya untuk beli permen.
“Banyak bacot amat, nih, orang!”
Azel bukannya tidak diajarkan sopan santun oleh ibunya. Tapi disaat-saat tertentu, saat emosinya tidak terkendali, ia bisa melanturkan ayat-ayat haram yang jika sang ibu mendengar, mungkin Azel segera diusir dari rumah.“Pulang nanti lo bareng gue,” ujar Dirga kemudian saat bel masuk sudah berbunyi.
“Ogah!” tolak Azel mentah-mentah, disaat para cewek di luar sana berlomba-lomba mendekati Dirga.
“Gue nggak nanya. Itu perintah.”
Azel menoleh cepat. “Eh, lo nggak bisa nyuruh gue seenaknya, ya! Lo pikir lo siapa?!”
Bukannya marah, Dirga justru tersenyum melihat emosi Azel tersulut sempurna. Terbukti saat cewek itu sudah berdiri bersiap menghadapinya. Dalam beberapa saat, ia terdiam memperhatikan wajah kesal Azel yang terlihat berkali lipat lebih lucu dari sebelumnya.
Kulit yang tidak terlalu putih itu membuat gadis pujaannya terlihat manis. Harusnya ia bisa melihat saat Azel sedang tersenyum. Tapi karena ia sedang dalam tahap mengambil hati, maka ia harus tahan banting mendengar umpatan dan raut marah Azel.
“Oh, lo ngajak gue kenalan?” Dirga mengulurkan tangannya. “Dirgantara Atmaja. Sekalian nomor gue nggak?”
Azel menatap cowok di depannya itu tak percaya. Bagaimana bisa kemarahannya dianggap main-main?
“Denger, ya, mau nama lo Dirga, Darga, atau dugong sekalian pun, gue nggak peduli.”
“Iya lah, karena cinta itu buta. Jadi lo harus terima gue apa adanya, apalagi ini cuma nama. Mau nama gue Darno pun lo bakal tetep suka sama gue.”
Azel sudah tidak bisa mendefinisikan seberapa tinggi angka kekesalannya. “Aduh, Ya Tuhan, kenapa ngirim orang kayak gini banget, sih!”
Saat kelas mulai ramai, Dirga sadar ia juga harus segera keluar dari kelas itu sebelum guru pengajar datang. “Gue balik kelas dulu, ya, Zel. Jangan kangen, entar gue antar pulang.”
***
Aholaaaa alohaaaa!!!!!
Gimana kalau kalian tiba-tiba ketemu orang kayak Dirga? illfeel atau malah suka?😂
Happy reading❤️
withlove, me
KAMU SEDANG MEMBACA
BECANDA
Roman pour Adolescents"Becanda itu penting," katanya. "Serius juga penting, lo nggak bisa becandain semua hal," balasnya. "Termasuk lo?" Hope you enjoy the story, because belum bisa enjoy face doi❤️ Best pict on cover by pinterest