Hawa dingin menusuk tubuh Azel begitu ia dan Dirga memasuki bangunan ramai itu. Apalagi ini hari minggu, bertambah dua kali lipat ramainya. Sejak memasuki area parkir, Azel bisa menebak kemana ia akan dibawa Dirga.
Gadis itu mengikuti Dirga menyusuri setiap toko di mall itu. Ia kira mereka akan naik ke lantai atas. Ternyata Dirga membawanya ke dalam toko dimana biasanya didominasi ibu-ibu. Setelah mengambil keranjang dorong, cowok itu memimpinnya menyusuri lorong rak sembari sesekali mengambil beberapa barang.
"Ngapain kita kesini? Sumpah ya, Ga, kalo hari ini lo nggak njebak gue, pasti sekarang gue sama Arin udah nonton, main di timezone, atau makan di warung tenda seberang sekolah."
"Mama minta gue beli beberapa barang tadi. Lagian kita bisa pdkt sambil lo belajar jadi istri yang baik."
Azel melempar tatapannya ke Dirga. "What? Lo pikir kita mau nikah besok?"
"Ya nggak papa."
Bagaimana cowok itu dengan santai mengucapkannya disaat Azel kesal setengah hidup. "Lo kira main congklak? Nikah kok dibuat main-main."
Dirga tertawa renyah. "Becanda kali, Zel. Gitu doang marah." Dirga menyenggol bahu Azel.
"Becanda mulu perasaan."
"Becanda itu penting, Zel." Dirga mengajaknya berbelok ke lorong rak berisi keperluan wanita.
"Serius juga penting, karena lo nggak bisa becandain semua hal," balas Azel merasa tak begitu setuju dengan ucapan Dirga.
"Termasuk lo?"
Azel diam. Bukan karena pertanyaan singkat yang dilontarkan Dirga. Namun nada serius yang terdengar disana. Ia sama sekali tak mendengar kicau candaan disana. Apalagi ketika Dirga berhenti di depannya menghadap ke rak barang, Azel refleks menatapnya di wajah. Awalnya Dirga tampak melihat ke depan, namun tak sampai semenit ia membalas tatap Azel.
Gadis berambut kucir kuda itu tak berkutik di tempatnya. Meski tangannya menggenggam erat tali tas, mata dan tubuhnya sama sekali tak bisa bergerak barang menjauh atau mendekat satu sentimeter saja. Entah karena tatapan teduh itu, atau memang karena Azel rawan di posisi seperti ini. Seperti de javu dengan orang yang berbeda.
Dan rasa sakitnya kembali lagi.
Di detik yang entah ke berapa, Dirga tersenyum tanpa memutus pandangannya. Namun Azel berinisiatif menghentikan kegiatannya itu. Ia menurunkan pandangan lalu menatap rak disampingnya. Sayangnya ia baru sadar mereka berhenti di depan rak yang penuh dengan ehm pembalut.
"Lo mau beli ini?" Meski merasa sedikit canggung, Azel tetap memberanikan diri bertanya.
Dirga berdeham. "Ini yang sayap mana, sih?"
"Hah?"
Sekarang keadaannya benar-benar membuat Azel canggung sekaligus malu. Ia selalu membeli barang itu setiap bulan. Tapi kali ini ia sedikit malu untuk mengambilkan. Mungkin karena sekarang ia disamping seorang cowok. Bahkan hanya Dirga satu-satunya cowok di lorong rak itu.
Dengan ragu, Azel mengambil barang yang dimaksud Dirga yang dikirimkan mamanya dari sebuah aplikasi pesan. Dengan sedikit melempar, ia memasukkannya ke dalam keranjang. Lalu Azel berjalan mendahului Dirga yang masih tersenyum sejak menyadari pipi Azel memerah.
"Heh, tungguin!" Dengan cepat Dirga mendorong keranjang belanjanya mengikuti Azel yang berbelok ke lorong cemilan.
"Ngambek mulu perasaan." Dirga berjalan sembari memandang Azel dari samping. Tangannya mengambil asal cemilan dari rak.
"Gue nggak ngambek."
"Oh, malu, ya?" dengan tawa meledek cowok itu berhasil mendatangkan semburat itu lagi ke pipi Azel.
KAMU SEDANG MEMBACA
BECANDA
Teen Fiction"Becanda itu penting," katanya. "Serius juga penting, lo nggak bisa becandain semua hal," balasnya. "Termasuk lo?" Hope you enjoy the story, because belum bisa enjoy face doi❤️ Best pict on cover by pinterest