36 hari minggu, lagi

11 4 2
                                    

Happy Reading

Azel merasa tak memiliki semangat. Bahkan sejak bangun di atas kasur milik Arin, dan ketika membuka ponsel mendapati puluhan panggilan tak terjawab dan ratusan pesan spam. Jelas ia kesal. Siapa yang tidak kesal jika melihat pacarnya pergi bersama cewek lain? Ia bahkan mengabaikan panggilan dari Dirga dan pesan-pesannya yang mengatakan akan menjemputnya. Beruntung ia menginap di rumah Arin, jadi pagi harinya ia tidak akan bertemu Dirga. Cowok itu kan tidak tau letak rumahnya.

Hari ini Azel meminjam seragam milik Arin. Maklum orang kaya banyak bajunya. Sampai di kelas, kepalanya tergeletak tak berdaya di atas meja saat terdengar olehnya derap langkah dan teriakan yang membuat seisi kelas hening seketika.

Melihat Dirga datang, Arin memutar bola mata jengah. Cewek itu bersiap marah-marah jika saja Azel tidak bangun dan menyuruhnya diam.

"Jahat banget lo berangkat duluan, mana rumah lo jauh lagi."

"Cuma gitu aja sambat," cibir Arin tak suka dengan kehadiran Dirga. Azel bercerita sampai mulutnya berbusa tadi malam, sampai air matanya beranak cucu. Dan semua penyebabnya adalah cowok yang kini duduk di hadapan Azel dengan rasa tidak bersalahnya.

Mendapat lirikan tajam Azel, Arin memilih bangkit dan meninggalkan keduanya. Cewek itu heran, kenapa temannya masih mau berbaik hati padahal sudah disakiti.

Kan goblok!

Dirga hanya melirik kepergian Arin. "Entar pulsek lo nggak ke café, kan, Zel?"

Azel hanya menggeleng lemah sembari membuka lembaran bukunya. Ia benar-benar malas mengobrol denga Dirga. Suasana hatinya buruk. Buruk sekali. Ingin rasanya ia bertanya banyak hal pada cowok itu, tapi ia tak siap jika jawaban yang akan ia dengar membuat mereka berakhir mengenaskan. Azel tidak siap.

"Lo sakit?"

Azel menggeleng lagi. Kali ini dengan berpura-pura mengerjakan soal. Walaupun sebenarnya ia tidak. Bagaimana bisa ia fokus ketika Dirga ada di depannya, menatapnya lekat. Seolah jika berkedip sekali saja Azel akan hilang ditelan angin. Salah satu hal yang membuat Azel sulit menanyakan hal itu, meski hatinya benar-benar penasaran dan kesal.

"Terus kenapa diem aja?" tanya Dirga. Sepertinya cowok itu sedikit peka dengan keterdiaman Azel yang seolah menyembunyikan sesuatu. Namun bagi Azel, seharusnya tanpa diminta cowok itu menceritakan apa yang terjadi kemarin. Itu baru namanya peka.

"Nggak papa," elaknya. Ia terlalu malas menekankan hal yang sudah jelas.

"Kok nggak papa, sih? Kalo ada masalah ngomong dong, Zel. Jangan diem aja. Gue tau lo lagi nyembunyiin sesuatu dari gue."

"Terus?" satu kata yang ia ucapkan sembari menaikkan satu alisnya. Entah mengapa mendengar kalimat Dirga membuat kekesalannya melonjak berkali-kali lipat.

Kening Dirga berkerut. "Maksudnya?"

"Terus kalo gue udah cerita, gimana?"

"Ya...kali aja lo lega. Atau mungkin gue ada salah ke lo."

"Emang lo ngerasa ada salah ke gue?"

Dengan dahi yang masih berkerut, Dirga menggeleng polos meski terlihat ragu.

"Yaudah." Dan respon Dirga tadi membuat Azel semakin naik pitam. "Udah sana! Gue mau belajar. Sekolah bukan tempat buat pacaran!"

Azel tahu ia sedikit keterlaluan karena suara bentakannya. Bahkan ia mengibaskan tangan mengusir Dirga kasar. Tapi ia keburu berang. Daripada Dirga menjadi korban pembunuhan sadisnya, lebih baik gadis itu mengusir pacarnya.

Mungkin juga Dirga mengerti. Azel butuh tempat dan waktu. Emosi perempuan itu tidak tertebak. Daripada memperkeruh keadaan, lebih baik ia beranjak meninggalkan hembusan berat. Melangkah lemas dengan wajah datar keluar kelas Azel.

BECANDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang