5 - diam saja

60 5 0
                                    

Dugaan Azel tentang siapa pemilik nomor itu benar. Baru saja makhluk menyebalkan bernama Dirga merusak paginya dengan kemunculan wajah cowok itu saat Azel baru saja memasuki gerbang.

“Lo udah save nomor gue belum? Kalo belum biar gue yang nge-save-in sini,” ujarnya meminta ponsel gadis itu.

Azel diam saja. Ia ingin membuat Dirga jengkel dengan menganggap tidak ada siapapun disampingnya. Tapi bukannya Dirga yang jengkel, justru Azel yang kesal karena Dirga seenaknya membuka resleting tas sekolahnya mencari benda segiempat berlayar itu.

“Heh, ngapain lo?!” sentak Azel memutar tubuhnya.

“Makanya siniin hape lo.”

“Dih, siapa lo ngatur-ngatur gue!” Sepertinya Azel tidak bisa bersikap santai saat menghadapi Dirga. Namun justru itu yang membuat Dirga menikmati wajah gadis di depannya sekarang.

Dengan senyum liciknya, Dirga memandang ke arah saku kemeja gadis itu. Tentu saja Azel yang menatap Dirga tajam, langsung menutupi area dadanya. “Liat apa lo!”

Kemeja yang terlihat kebesaran itu sebenarnya tidak membuat Dirga berpikir macam-macam, Azel saja yang sensi. Bahkan yang ada difikiran cowok itu hanya menemukan ponsel Azel.

“Dih, apaan.”

“Mau nyoba tonjokan gue, ya, lo?”

“Oh, nggak papa, sini sini,” ujar Dirga menepuk pipi kirinya. “Kalo perlu ditonjok pake bibir.”

Kali ini Azel tidak main-main. Dia memberi sebuah tamparan yang ia rasa cukup keras hingga membuat pipi Dirga sedikit merah. Terlihat Dirga sedikit terkejut karena tamparan Azel yang bersifat tiba-tiba. Bahkan cowok itu kesakitan sampai mengelus pelan pipi kirinya.

Dengan meninggalkan tatapan tajam, Azel berjalan menjauh dari cowok itu sembari menutup kembali resleting tasnya. Dengan cibiran kesal dan wajah yang tak bersahabat ia menyusuri koridor menuju kelasnya.

Hidup Azel benar-benar terusik sekarang. Dan soal ucapan Dirga tadi, bukannya merasa luluh malah Azel merasa benar-benar kesal sampai tangannya kelepasan menampar Dirga.

***

Raut kesal yang sedari tadi ditunjukkan Azel membuat Arin enggan menanyakan penyebabnya. Arin takut saja amarah Azel meledak dan membuat kehebohan. Tadi saja saat salah satu Gavin, teman sekelasnya sengaja mengganggu Azel, gadis itu memberi tendangan kuat di tulang kering cowok itu sampai ia merasa kesakitan. Dan tanpa rasa bersalah, Azel kembali duduk di kursinya mengerjakan soal dengan sisa kekesalannya.

Amarah Azel membuat tidak ada satu orang pun di kelas mereka berani mencari gara-gara dengan gadis itu. Arin pun hanya berbicara seperlunya saja. Ia masih tidak tahu apa yang menjadi penyebab kekesalan sahabatnya itu.

“Zel, lo mau keluar bareng gue nggak?” tanya Arin saat bel pulang sekolah menyegarkan mata semua siswa dari kebosanan jam pelajaran.

“Lo duluan aja.” Jawaban Azel diangguki Arin dan cewek itu keluar kelas lebih dulu.

Seperginya Arin, Azel membereskan buku-bukunya lalu berdiri hendak pulang. Hari ini ia ada jadwal bekerja karena mendadak salah seorang teman satu tempat kerjanya sakit. Alhasil, Azel harus bekerja dan sebagai gantinya, temannya itu akan mengisi jadwalnya kemudian.

“Widih, cepet amat keluar kelas? Nggak sabar mau ketemu gue, ya?” Seseorang yang bersandar di sebelah pintu membuatnya terkejut. Dirga tidak sendiri, lima cowok lain berdiri agak jauh tapi Azel yakin mereka mengikuti Dirga.

Tanpa mempedulikan ucapan cowok itu, Azel melewati Dirga begitu saja. Tentu saja bukan Dirga jika ia tidak menahan Azel.
“Tungguin gue dong.”

BECANDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang