8 - pesan dari Dia

60 5 0
                                    

Dirga meletakkan tubuh Azel diatas sofa, setelah seorang wanita seumuran mamanya membukakan pintu. Kemudian wanita itu mengambil bantal sofa untuk dijadikan penyangga kepala Azel. Wanita itu tak terhindar dari kepanikan saat melihat Azel terbaring lemah diatas sofa.

“Duh, kok bisa pingsan, sih?” gumamnya yang tengah mengoleskan minyak kayu putih ke beberapa permukaan tubuh Azel.

“Tadi kata temennya, dia tiba-tiba pucet gitu, Tante,” jawab Dirga yang tengah berdiri memandang kepanikan wanita itu.

Wanita itu terlihat menghela nafas berat. “Pasti gara-gara kemarin kehujanan.”

“Eh, ngomong-ngomong, makasih ya udah ngantar Azel pulang.” Wanita itu beralih menatap Dirga yang masih berdiri di belakangnya.

“Sama-sama, Tante,” balas Dirga tersenyum.

“Nama kamu siapa?”

“Dirga, Tante. Saya teman sekolah Azel.”

Wanita itu menganggukkan kepala. “Saya Sukma, Ibunya Azel. Kamu duduk dulu, saya buatkan minum.”

Dirga tersenyum. “Nggak usah, Tante. Saya langsung pulang aja.”

“Oh, yaudah. Sekali lagi makasih, ya. Lain kali kamu mampir, deh, makan bareng disini.”

Dirga tersenyum, tapi bersorak dalam hati. “Boleh, Tante.”

Setelah berpamitan, Dirga langsung keluar dari rumah itu menuju mobilnya terparkir. Sebenarnya itu mobil milik Gilang yang sengaja ia pinjam untuk mengantar Azel pulang. Cowok itu menyeringai kecil di belakang kemudi sembari menatap rumah Azel. Lalu melajukan mobil ke rumah Gilang.

***

Setelah menukar kembali kendaraannya, Dirga langsung pulang ke rumah. Hari ini kedua orang tuanya akan mengajaknya makan malam di luar. Daripada Mamanya mengomel sampai seminggu, lebih baik ia pulang lebih awal.

Dirga melewati pintu rumahnya yang sedikit terbuka. Hal pertama yang ia tangkap adalah Dinara, kakaknya yang sedang berkutat dengan laptopnya. Melihatnya saja Dirga sudah pusing, apalagi Dinara yang setiap hari mengerjakannya.

Ide jahil melintas di fikirannya. Cowok itu menghempaskan diri di sofa tempat Dinara duduk hingga membuat kakaknya itu berdecak kesal.

“Banyak tingkah banget, lo!”

Dirga menjulurkan lidahnya lalu menyambar toples berisi cemilan di tangan Dinara. Sontak saja, kakaknya itu menoleh dengan tatapan tajamnya. Terlihat seperti orang menahan umpatan keluar dari mulutnya.

“Laper gue,” ujar Dirga berekspresi santai disaat kakaknya itu tengah menahan marah.

“Pergi sana lo!” Dinara kembali menatap laptopnya.

“Dih, jahat banget lo kek tante-tante sinetron.”

Dinara tak menjawab. Dirga fikir kakaknya itu sedang mengerjakan syarat kelulusannya. “Skripsi, ya?” tanyanya sembari mengangkat kaki melewati paha kakaknya.

“Hm.” Dinara melirik sekilas kaki Dirga.

“Dari gue belum lahir sampe sekarang nggak kelar-kelar? Bego banget, sih, lo,” ejeknya menyeringai. Padahal jauh di dalam hatinya, Dirga mengakui kakaknya itu jauh-jauh sekali lebih pintar darinya.

“Heh, kingkong! pH otak lo udah lebih dari tujuh, ya? Nggak inget siapa dulu yang nyelamatin lo tiap ada pr!” teriak Dinara kesal. Adiknya itu memang tidak pernah bisa membuatnya hidup tenang dan damai.

“Lah, bangke kuda! Otak gue bukan larutan, anying!” Dirga yang tak terima langsung bangkit berbicara tak kalah pelan di depan wajah Dinara.

“Dih, koala aja sok-sok an lo!”

BECANDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang