Tuhan menciptakan kehidupan bukan tanpa alasan. Azel selalu percaya ada hal-hal tersirat yang direncakan Tuhan untuk setiap kehidupan, bahkan untuk daun yang ditakdirkan berguguran. Dan Tuhan tidak akan pernah lepas tangan akan setiap hal yang Ia ciptakan. Takdir-Nya akan selalu mendominasi segala hal yang terjadi di dunia ini, akan selalu mengambil alih rencana manusia.
Hari ini ketika ibunya berbaring tak berdaya di dalam ruangan penuh alat-alat rumit itu, Azel semakin yakin bahwa Tuhan sedang merencanakan sesuatu di luar kemampuannya.
"Jangan lupa besok kita ulangan! 10 soal pilihan ganda dan 5 soal uraian beranak."
Suara guru di depan kelas membuat seluruh kelas ricuh akan suara tak terima, kecuali Azel yang sejak jam pelajaran pertama hanya memandang tak tertarik ke depan sana. Gadis itu bahkan tidak mencatat ataupun memperhatikan penjelasan guru.
Ketika guru itu keluar, tepat 5 menit kemudian bel tanda pulang sekolah berbunyi nyaring. Semua orang berhamburan keluar kelas. Azel yang biasanya menunggu pintu kelas tidak sesak pun kali ini melenggang tak peduli bahkan saat dirinya tersenggol sampai terjatuh. Sampai saat ponselnya yang ikut terjatuh, bergetar pelan. Melihat nama salah satu perawat rumah sakit, Azel segera menjawab panggilan.
"Halo?"
Azel tak lagi bersuara. Rasanya dunia berhenti bergerak untuk dirinya. Suara nyaring orang-orang disekitarnya mendengung membuat kepalanya nyeri.
Azel tak punya waktu lagi. Secepat mungkin gadis itu bergerak. Gadis itu berlari tak kenal arah, tak peduli siapa saja yang ia senggol bahkan ada yang memakinya. Sampai di gerbang sekolah, ia kebingungan mencari sesuatu yang mungkin bisa memberinya tumpangan. Azel tidak bisa menunggu.
Langkah cepatnya terhenti saat ia melihat sebuah taksi dari arah berlawanan. Tangannya melambai-lambai tak sabar hingga dirinya tak sadar telah turun ke jalan. Sebelum taksi itu berhenti sempurna, Azel sudah meraih pintu dan membukanya, tergesa-gesa.
***
Suasana sangat riuh. Membuat kepala Azel semakin pening. Langkahnya tergesa-gesa, nafasnya memburu tak berirama. Saat ia ingin berbelok ke sebuah koridor, tubuhnya terdorong hingga jatuh ke lantai yang dingin. Matanya memejam.
"Maaf, Mbak," ucap seorang perempuan yang mungkin umurnya tak jauh dari umur Azel. Perempuan itu mengulurkan tangan.
Azel tak menerimanya meskipun ia kesulitan berdiri. Kakinya langsung bergegas melanjutkan langkah ke arah tujuan. Entah kemana tujuannya. Tiba-tiba ia lupa letaknya.
Sebuah koridor panjang dan sepi membuatnya terpaku sejenak. Tak perlu berpikir panjang gadis itu berlari mendekati pintu di salah satu sisi koridor. Napasnya memburu, tubuhnya bergetar, pandangannnya buram tertutup air mata. Saat tangannya hendak meraih gagang pintu, tarikan dari dalam mendahuluinya memunculkan sesosok pria tegap dengan pakaian serba putih. Pria itu terlihat terkejut melihat Azel, begitupun Azel terkejut melihatnya. Lalu seorang perawat wanita muncul dari belakang dokter.
"Dengan Mbak Azel?" tanya perawat itu memastikan. Azel mengangguk. "Dokter, ini keluarga pasien."
Dokter itu terlihat mengangguk-angguk mengerti. Azel masih tak berani bersuara. "Sebelumnya kami mohon maaf, Mbak. Ibu Sukma dinyatakan meninggal."
Dunia Azel benar-benar runtuh saat itu juga. Seribu keping emas 10 karat pun tak akan bisa membangunnya kembali. Azel tidak tahu harus apa. Tubuhnya lemas selemas-lemasnya. Matanya benar-benar tergenang air mata sampai dokter di hadapannya pun tak terlihat jelas. Sampai matanya tak mampu lagi membendung dan air itu tumpah sedikit demi sedikit.
Tubuh lemas itu dipaksanya menerobos masuk ke dalam ruangan yang terisi tubuh tak berdaya milik ibunya. Di pandangan Azel, ibunya sedang duduk di belakang mesin jahit sembari berceloteh ringan tentang teman-temannya. Namun semakin dekat langkah Azel, semakin nyata raga ibunya terbaring tak berdaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BECANDA
Teen Fiction"Becanda itu penting," katanya. "Serius juga penting, lo nggak bisa becandain semua hal," balasnya. "Termasuk lo?" Hope you enjoy the story, because belum bisa enjoy face doi❤️ Best pict on cover by pinterest