Chapter 21|Childhood

686 90 1
                                    


Daegu, 1 Agustus 2012.

Langit kota Daegu diselimuti kegelapan karena sang mentari telah terlelap beberapa jam yang lalu. Angin malam yang menggerakkan awan pun mampu mengawinkannya menjadi mendung. Sepertinya, beberapa menit lagi awan gelap yang menggantung di langit itu akan memuntahkan isinya ke bumi. Malam ini ayahnya akan kembali seusai melakukan perjalanan bisnis selama kurang lebih sebulan di luar negeri. Ketika langit terlihat tak bersahabat di mata anak keturunan Park itu, ia merasakan cemas luar biasa-takut sang ayah kenapa-kenapa di perjalanan, mengingat betapa licinnya jalanan kota Daegu saat hujan deras mengguyur. Kecemasan anak kecil memang tidak bisa diukur dengan perasaan orang dewasa.

Beruntungnya, sebelum bayangan-bayangan buruk lainnya melintas di otak Jimin, suara deru mesin mobil mengudara masuk ke dalam pekarangan rumah mewahnya. Manik Jimin berbinar kala melihat siapa orang yang turun dari mobil mewah itu, maka dengan langkah kaki yang cepat ia menghampiri tuan Park dengan senyuman yang merekah.

"Ayah!" seru Jimin dari ambang pintu.

Pemilik tangan yang sedang mengambil koper di bagasi mobil itu pun menoleh ke arah sumber suara. Saat mendapati sang anaklah yang berdiri di sana, sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas kemudian bertanya, "Kenapa belum tidur?"

Satu pelukan menghangatkan tubuh tuan Park tepat diusai ia menutup bagasi mobil putihnya. Park Jimin memeluknya, anak itu teramat merindukan sang ayah.

"Tentu saja menunggu Ayah. Kenapa lama sekali? Jangan pergi lama-lama lagi," pinta jimin lembut.

Tuan Park melepaskan jemari Park kecil dari perut yang dilapisi jas dan kemeja mahal, kemudian membungkukkan tubuh-menyetarakan tingginya dengan anak tunggalnya itu. "Banyak pekerjaan yang harus Ayah selesaikan."

Park kecil hanya diam seraya mengekori sang ayah masuk ke dalam hunian mewahnya. Ia tersenyum simpul dengan batin yang tidak merasakan kebahagiaan sama sekali. Pekerjaan ya? Apakah semua anak pemilik perusahaan besar selalu bernasip seperti ini? Terlalu klise!

Kasih sayang yang anak itu dapatkan tidak sebesar pundi-pundi Won yang masuk ke dalam rekening ayahnya.

Tuan Park mengamati sekeliling huniannya melalui manik hazelnya-mencari keberadaan seorang wanita yang teramat ia cintai dan rindukan. Namun nihil, ia tak mendapati tanda-tanda kehidupan dari huniannya itu. Bahkan banyak ruangan yang telah dimatikan lampunya.

"Ibu dimana? Kenapa sepi sekali?" tanya tuan Park sembari menarik kopernya memasuki kamar.

Jimin berdehem singkat, sedikit merasa tidak yakin untuk menjawab pertanyaan ayahnya. "Eomma tadi pergi bersama seorang pria."

"Seorang pria?" tanya tuan Park lagi.

"Iya ayah. Eomma sering pergi malam-malam dengan seorang pria. Sepertinya eomma selingkuh," tutur Jimin sambil mendudukkan dirinya di pinggir ranjang kamar orang tuanya.

"Jangan mengarang cerita, Jim. Mana mungkin Ibumu berselingkuh. Dia sangat menyayangi ayah dan juga dirimu. Tentu saja dia tidak akan melakukan hal bodoh." Tuan Park terkekeh, menganggap penuturan anak berusia sebelas tahun hanyalah sebuah karangan fiksi yang patut ditertawai.

"Mungkin Ibu pergi menemui teman-temannya dan diantar oleh Bae ahjussi," lanjut tuan Park menyebut nama sopirnya.

'Diantar Bae ahjussi? Tapi Bae ahjussi sedang sakit,' batin Jimin.

"Tapi ayah, Jimin pernah melihat eomma ber-" Belum sempat Jimin menyelesaikan kalimatnya, tuan Park sudah lebih dulu memotong.

"Tidak Jimin, kau tidak boleh menjelek-jelekkan ibumu." Tuan Park melepas dasinya birunya sembari menatap cermin. Dirinya tengah digerogoti rasa penat yang teramat dan perkataan Jimin berhasil merauk emosinya malam ini. Ia tak mengerti dengan anaknya itu, bagaimana bisa seorang anak kecil menjelek-jelekkan ibunya sendiri di depan sang ayah?

Keduanya kembali bungkam, tak berniat melanjutkan percakapan itu sama sekali. Semenit setelahnya, suara shower terdengar dari arah kamar mandi, sepertinya tuan Park sedang membersihkan diri dan juga menghilangkan rasa penatnya.

Sejujurnya Jimin tidaklah berbohong, bukaan mulutnya mengungkapkan apa yang ia lihat-tidak ada yang ditambah ataupun dikurang. Saat satu bulan yang lalu ketika ayahnya pergi melakukan perjalanan bisnis, Park kecil sering kali melihat sang ibu pergi bersama pria lain. Anak keturunan Park itu pun tak pernah mengerti definisi selingkuh sebelum akhirnya ia melihat melalui pupil matanya sendiri, sang ibu berciuman dengan seorang pria di dalam mobil. Ah tidak, lebih tepatnya bercumbu.

Jimin masih terlalu belia untuk mengetahui arti perselingkuhan yang sebenarnya.

Awalnya ia tak begitu yakin jika orang itu adalah ibunya, tetapi saat maniknya mengait pada wanita yang baru saja keluar dari mobil itu, ia langsung dapat menyimpulkan jika nyonya Park mengkhianati ayahnya.

Semenjak itu Jimin sangat menantikan kepulangan tuan Park, ia ingin melaporkan perihal yang ia lihat setiap harinya. Namun justru ayahnya tidak percaya dengan ucapannya. Apa karena usianya yang masih kecil? Entahlah, ia sendiri tidak tau.

Tetapi, bukankah mulut anak kecil lebih suci ketimbang mulut orang dewasa?

"Dimana ahjumma? Kenapa tadi menunggu Ayah sendirian?" Suara tuan Park mengudara memecahkan lamunan Jimin. Entah sudah berapa menit anak itu melamun sampai tidak menyadari jika ayahnya telah keluar. Pun anak itu menunduk dan menjawab, "Ahjumma sudah tidur. Tadi Jimin pura-pura tidur agar ahjumma tidak menemani Jimin menunggu Ayah. Kasihan ahjumma terlihat kelelahan karena menemani Jimin bermain seharian."

Tuan Park tersenyum, mengusak rambut anaknya. "Kalau begitu sekarang Jimin juga harus tidur."

Jimin menggeleng tiga kali. "Apa Ayah mau melihat sesuatu?"

"Apa itu? Tapi janji sehabis itu anak Ayah yang tampan ini harus tidur," ujar tuan Park menawarkan perjanjian.

Pun anak laki-laki itu mengangguk seraya menarik tangan sang ayah menuju kamarnya. Jimin sangat ingin menunjukkan sesuatu kepada ayahnya hingga membuat langkah kakinya itu tergesa. Tuan Park mengikuti arahan Jimin dengan dengan rambut yang basah.

Saat tangan mungil Jimin meraih engsel pintu dan membukanya, manik tuan Park langsung mengait pada sebuah piala besar yang berdiri di samping meja belajar Jimin

"Jimin mengikuti lomba itu saat Ayah sedang pergi," kata Jimin seraya berjalan mendekat ke piala miliknya yang baru saja ia dapatkan dua minggu lalu.

Tuan Park mengernyitkan dahi, berjongkok di depan piala itu guna membaca predikat juara yang Jimin raih.

"Modern dance? Jimin, kau itu anak Ayah. Nantinya kau akan menggantikan Ayah mengurus perusahaan, kau harus mendalami akademik karena yang nantinya berguna untuk masa depanmu. Jangan lanjutkan dance yang tidak jelas itu." Suara tuan Park begitu menusuk hati anak kecil dengan mata sipit itu. Ia tak mengerti dimana letak kesalahannya. Sejak dulu ia sudah tertarik dengan dunia dance, namun ibunya tidak pernah mempedulikan itu, dan sekarang sang ayah tidak mendukungnya sama sekali. Bolehkah ia menangis saat ini juga?

"Sekarang tidurlah," ujar tuan Park sebelum akhirnya keluar dan menutup pintu kamar, meninggalkan Jimin yang dilanda kesedihan.

Ibu yang berkhianat dan ayah yang tidak pernah mendukungnya menjadikan anak berumur sebelas tahun itu merasa tak pernah mendapat kasih sayang.

-TO BE CONTINUED-

Publish: 20.05.13

Time: 20.48

Heart Choice [ SUDAH TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang