Chapter 40|Sincere

477 72 10
                                    


Beberapa menit lalu Jungkook memarkirkan kendaraannya di depan sebuah kedai dua puluh empat jam, ia telah membuat janji dengan Hyeon—ketua kelas Aera. Oh iya, apakah Jungkook sudah bercerita jika akhir-akhir ini ia dekat dengan Hyeon?

Semenjak Jimin pergi meninggalkan Korea Selatan, Jungkook tidak lagi memiliki teman dekat untuk diajak bercerita karena pada dasarnya Jimin adalah satu-satunya teman dekat Jungkook, setelah Taehyung tentunya. Beruntungnya Hyeon menawarkan diri untuk menjadi teman bercerita Jungkook. Mereka sudah beberapa kali mengatur janji seperti pada malam ini, hanya untuk sekedar makan-makan bersama atau bercerita sesama pria.

"Wah ... wajah calon idol yang satu ini menyilaukan." Begitulah sambutan Hyeon kepada Jungkook saat kekasih dari temannya itu baru saja sampai, Hyeon begitu ramah dan juga pandai berbicara sehingga Jungkook tidak pernah merasa canggung ketika bercakap-cakap dengannya.

"Kau belum memberi tahu Aera?" tanya Hyeon setelah meneguk latte.

Dengan sedikit ragu Jungkook menjawab, "Sudah. Tetapi dia belum tahu kalau aku sudah diterima."

Hyeon sedikit bingung dengan jawaban Jungkook, membuat dahinya menghadirkan kerutan-kerutan tipis. "Maksudnya kau sudah memberi tahu Aera kalau kau mengikuti audisi idol, tetapi kau tidak memberi tahu bahwa hasil audisi sudah keluar. Begitu?" Hyeon meminta penjelasan lebih.

"Benar sekali," tutur Jungkook kemudian membuang napas jengah.

Hasil audisi sudah keluar sejak dua hari yang lalu, tetapi Jungkook tidak memberi tahu sang kekasih bahwa ia lolos seleksi. Astaga, bahkan untuk mengatakan Jungkook akan mengikuti audisi saja ia sangat ragu, apalagi mengatakan jika Jungkook lulus dari seleksi. Ia sangat takut jika Aera akan berpikiran bahwa Jungkook akan meninggalkannya.

"Lalu bagaimana kabar Jimin?"

Jungkook mendengus kesal. Setiap kali nama itu terdengar olehnya, Jungkook pasti akan mendadak merasakan suasana hati yang buruk. "Jangan sebut namanya!" sarkas Jungkook setelah meneguk americano.

"Baiklah. Bagaimana kabar iblis itu?" ralat Hyeon.

"Sepertinya dia baik-baik saja. Terlebih hidupnya dipenuhi kemewahan," jawab Jungkook dengan nada tidak minat.

Hyeon mengedikkan bahunya sambil menarik paksa sudut-sudut bibir agar terlihat tersenyum. "Tapi kekayaan tidak dapat menjamin kebahagiaan seseorang, Kook."

Tanpa perlu diingatkan pun Jungkook paham tentang hal itu. Hanya saja saat ini ia sedang mencoba berpikir realistis. Saat Jungkook bertemu dengan Jimin di kantor polisi, Jimin tidak memasang sirat rasa bersalah sedikit pun, wajahnya terlihat santai dengan tangan yang dilipat di dada, belum lagi kakinya yang dilebarkan—terlihat angkuh. Oleh sebab itu Jungkook dapat menyimpulkan jika saat ini Jimin sangat menikmati hidupnya di luar negeri dengan harta yang berlimpah. Tidak merasa menyesal sedikitpun.

"Perasaan seseorang bisa berubah kapan saja. Bisa jadi saat ini Iblis itu sedang merenungkan kesalahannya dan merasa menyesal," lanjut Hyeon sembari mengangguk-anggukkan kepala.

Demi simbiosis parasitisme antara kerbau dan kutu, Jungkook rasanya ingin terbahak mendengar perkataan Hyeon yang terdengar lebih seperti celotehan. Oh astaga, mana mungkin Jimin bisa merasa bersalah atas kesalahan yang pernah ia perbuat, terlebih pemuda itu sudah tidak memiliki hati.

"Mungkin menurutmu ini terdengar lucu," sindir Hyeon yang mendengar suara tawa Jungkook. "tapi aku berani menjamin seratus persen jika Jimin tidak akan hidup tenang di sana."

"Yeah ... aku tidak perduli," ketus Jungkook sebelum menyeruput americano­-nya lagi.

Setelah Jungkook berkata demikian, keduanya hening dan tenggelam pada pikirannya masing-masing bersama hangatnya penghangat ruangan.

"Kook." Sebelum keduanya menghabiskan waktu lima menit dalam keheningan, suara Hyeon mengudara hingga menepis segala hening yang ada.

"Ya?"

"Apa kau sudah yakin dengan semua ini?" tanya Hyeon begitu hati-hati. Ia tahu jika hal ini-lah yang tengah Jungkook pikirkan sedari tadi.

Satu embusan napas panjang keluar dari bukaan bibir Jungkook, ada rasa sakit dalam relung hatinya kala mendengar pertanyaan Hyeon. Keraguan masih memenjara hati hingga membuat otaknya tidak lagi mampu meyakinkan diri atas apa yang telah dipilih dan diputuskan.

"Aku masih berusaha untuk meyakinkan diri."

Sesuai dugaan Hyeon, Jungkook pasti masih merasa ragu akan pilihan yang sudah pemuda itu ambil.

"Kau tidak bisa berhenti di tengah jalan seperti ini, Kook." Hyeon menghentikan ucapannya selama lima detik. "Lepaskan dan ikhlaskan. Dua hal itu adalah kunci dari perpisahan," lanjut Hyeon.

"Ikhlas?"

Hyeon mengangguk. "Iya, ikhlas. Menurut sebuah buku yang kubaca, ikhlas akan membuatmu merasa tenang dan bahagia meski melepaskan seseorang yang paling berharga di hidupmu." Sejujurnya, setiap kali Hyeon menatap manik Jungkook, ia dapat melihat satu hal di sana, yaitu ketidakrelaan.

"Bagaimana caranya?"

"Bro, yakinlah jika Aera akan hidup bahagia, dan kau akan dipertemukan dengan seseorang yang lebih baik di masa depan." Hal itu memang tidak semudah mengucapkannya, tetapi bagaimanapun juga belajarlah untuk mengikhlaskan, terlebih perkara cinta. Jangan kotori cinta dengan keserakahan dan obsesi.

"Jadi bagaimana?" tanya Hyeon setelah tidak mendapat jawaban apapun dari Jungkook lebih dari satu menit. Walaupun Hyeon belum lama menjadi teman dekat Jungkook, tetapi pemuda itu sudah mampu memahami perasaan pemuda bermarga Jeon itu. Selain itu juga Hyeon tidak pernah bisa melihat orang terdekatnya merasa gelisah dan cemas seperti ini. Jika tidak mana mungkin Hyeon mau berbicara puitis seperti itu.

"Aku akan belajar mengikhlaskannya," timpal Jungkook penuh keyakinan. Perkataan Hyeon tadi mampu membuat pikirannya lebih terbuka.

"Secepatnya. Kau tidak punya banyak waktu lagi, Kook." Hyeon mengingatkan.

Jungkook memejamkan irisnya dan menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi seraya sedikit menengadah. Jakunnya naik turun, raut wajahnya terlihat gelisah. Pikirannya kalut bukan main, namun di tengah-tengah itu semua Jungkook berusaha meyakinkan dirinya agar dapat mengikhlaskan seseorang yang sangat berharga di hidupnya.

Dengan satu tarikan napas panjang dan pupil yang menyorot penuh keyakinan Jungkook berucap, "Beri aku waktu satu hari. Aku akan membuatnya bahagia meski untuk terakhir kalinya."

Mendengar hal itu Hyeon lantas menepuk-nepuk pundak Jungkook, merasa kagum dengan pilihan yang telah pemuda itu ambil. Sementara itu Jungkook berusaha untuk tetap tersenyum walau perpisahan telah menunggu di depan mata.

Perpisahan? Mampukah Jungkook menghadapi untuk kesekian kalinya?

-TO BE CONTINUED-

Publish 20.08.09

Time: 21.25

Chapter kali ini pendek tapi banyak kode-kode. Jadi gimana nih? Aera sama Jungkook bakal pisah atau enggak?

Heart Choice [ SUDAH TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang