Plester luka masih terlihat menempel di dahi Melodi. Beberapa perban kecil juga masih menghiasi tangan serta kaki Melodi. Namun gadis itu tidak banyak mengeluh saat merasa perih atau nyeri. Melodi terlihat biasa saja.
Melodi duduk di bangku samping ranjang pasien. Matanya terus memperhatikan Elina yang tengah melahap bubur di mangkuknya. Hari ini Melodi bersama Arka mengunjungi Elina di rumah sakit. Sebenarnya Arka menolak membawa Melodi, namun seperti biasa gadis dengan segala rengekan anehnya selalu berhasil membuat Arka berkata iya.
Melodi menoleh ke kanan. Menatap Arka yang kini tidur dengan posisi telungkup di atas sofa. Sudah satu jam lamanya pria itu terlelap. Kepala Melodi kembali beralih menatap Elina. Tidak, bukan Elina melainkan makanan itu.
Mata Melodi tak berkedip ketika menatap bubur yang terlihat enak. Meski ia benci bubur namun melihat Elina makan dengan lahap membuatnya juga ingin merasakannya. Melodi menelan ludahnya sebelum suara perut keroncongan terdengar.
Suara perut Melodi berhasil terdengar sampai telinga Elina. Wanita itu menoleh dan mendapati Melodi yang sedang menatapnya. "Kamu laper?" tanya Elina.
Melodi terkesiap. Ia segera mengerjapkan mata. "Eh, enggak."
Tak lama perut Melodi kembali berbunyi. Kali ini lebih keras. Ia menyengir pada Elina yang menatapnya geli.
"Yakin gak laper? Sampe bunyi perut kamu loh," ucap Elina.
Melodi kembali menyengir pada Elina. "Hehe, iya, Melodi laper."
Elina menggeleng kecil sembari menahan tawa. "Kamu mau?" tawar Elina pada Melodi. Mangkuk berisikan bubur itu ia angkat tinggi.
Melodi terlihat berpikir, namun kemudian ia menggelengkan kepalanya. "Enggak, itu kan makanan Bunda."
"Makan aja kalau kamu mau, katanya laper," ujar Elina.
"Emang boleh? Nanti bunda kelaperan," kata Melodi pada Elina.
Elina menggeleng. "Gapapa, Bunda juga bosen sama makanannya."
Melodi menerima mangkuk berisi bubur yang masih banyak dari uluran tangan Elina. Ia kembali duduk. Rasa lapar membuat Melodi segera mencicipi buburnya. Namun begitu satu suap bubur masuk ke dalam mulutnya, raut wajah Melodi berubah masam. Dengan cepat Melodi meraih air minum di atas meja dan menenguknya.
"Enggak enak, gak ada rasa," ujar Melodi setelah menandaskan segelas air minum milik Elina.
Elina tertawa mendengar penuturan Melodi, terlebih raut wajahnya yang lucu. "Makanan orang sakit emang hambar, Melodi."
Bibir Melodi mengerucut, merasa kesal. "Nih, Odi balikin," ucap Melodi sembari mengulurkan lagi mangkuk itu ke Elina yang langsung diterima.
"Kamu laper banget ya?" tanya Elina. Wanita itu tertawa kecil ketika Melodi bukannya menjawab malah menunjukan ekspresi kesalnya. Kedua tangannya terlipat di depan dada.
"Arka. Bangun Arka," panggil Elina berusaha membangunkan Arka. Namun pria itu tetap diam. Jangankan menyahut, mendengar saja mungkin tidak, apalagi bergerak.
"Melodi, kamu bangunin Arka. Minta dia bawa kamu ke kantin buat beli makan," titah Elina pada Melodi.
Dengan niat ogah-ogahan Melodi berjalan menghampiri Arka. Ia menarik-narik lengan Arka berharap pria itu terbangun. "Arkana, bangun! Anterin Odi beli makan," ucap Melodi. Namun Arka masih tidak kunjung bangun.
"Arkana," panggil Melodi lagi. Kali ini lebih keras.
"Anterin beli makanan, Odi laper." Melodi semakin kencang menggerak-gerakan lengan Arka. Pria itu masih tetap diam, seperti mayat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in Psychiatrical
ChickLit[ TAMAT | PROSES REVISI ] "Lo itu cewek paling sinting yang pernah gue temui dan kewarasan lo adalah kegilaan yang selalu gue cari sampai mati." Kebiasaan buruk menghambur-hamburkan uang membuat seorang Arkana Elfreda mendapat hukuman dari sang aya...