47. Patah Hati Sesungguhnya

5.7K 786 207
                                    

"Kembaliin!"

"Enggak!"

"Kembaliin kuaci Odi!"

"Karena lo enggak senam pagi, sore ini lo harus lari keliling halaman rumah sakit ini." Arka mengangkat tinggi-tinggi kuaci Melodi yang baru disitanya.

"Enggak mau!" tolaknya.

"Harus mau. Lo yakin mau ngebiarin kuaci ini gue makan gitu aja?" tanya Arka.

Melodi menatap berang Arka yang berdiri di hadapannya. Wajahnya tertekuk kesal. Datang-datang pria ini sudah mengajak ribut. "Pokoknya enggak mau!" Melodi bergulingan di karpet ke kanan kiri.

Alih-alih luluh, Arka justru memasukkan bungkus kuaci ke dalam saku celana jeans-nya. Kemudian, menarik kedua pergelangan kaki Melodi.

Melodi berteriak. "Lepasin Arkana!"

Arka terus menarik Melodi hingga keluar pintu kamar. "Bilang kalo lo mau lari, baru gue lepas."

"Lepasiiiin! Lepasin Arkana!"

Merasa tidak diacuhkan Melodi lantas meraih satu pot tanaman berukuran kecil yang ada di koridor dan meleparnya hingga mengenai lengan Arka.

"Kenapa lo lemparin gue?" tanya Arka.

"Gue bilang lepas, ya, lepas! Jangan sentuh kaki gue!"

"Kenapa lo marah, sih? Harusnya gue yang marah karena lo lemparin pake pot. Liat tangan gue!" Arka menunjukkan tangannya yang ada sedikir goresan kecil.

"Sukurin!"

Arka terhenyak ketika menyadari Melodi jadi begitu sensitif hanya karena ia menyentuh kakinya. Memangnya sebagus apa kakinya sampai tidak boleh disentuh?

"Lo mau gue lari, kan? Gue bakal lari asal lo kembaliin kuacinya ditambah es krim. Enggak ada penolakan!" Melodi menjulurkan lidah pada Arka, lalu berlari kencang.

Arka memperhatikan kaki Melodi dan menemukan adanya bekas luka. Bekas yang sama seperti pertama kali ia lihat ketika mengajak Melodi ke ulang tahun sepupunya.

***

"Satu putaran lagi!" Arka berteriak pada Melodi yang sedang berlari mengelilingi lapangan dalam rumah sakit. Pria itu duduk di salah satu gazebo yang ada di dekat sana.

"Dari tadi satu putaran lagi terus tapi enggak selesai-selesai. Lo bohongin gue, ya?" Melodi berlari kecil saja sudah kepayahan. Keringat mengalir badannya. Sementara bibirnya terus mendumalkan sesuatu yang buruk untuk Arka.

"Biar lo larinya enggak cuma satu putaran," jawab Arka. Kemudian tertawa.

"Udah, ah!" Melodi berlari kecil mendekati Arka. "

"Kok, udahan?"

"Udah capek. Kalo gue pingsan karena kehabisan napas gimana? Gue enggak mau dicium lo terus dikasih napas buatan kayak di film," ujar Melodi.

Arka mendengkus. "Gue juga ogah kali. Kalo lo pingsan, paling gue seret kayak tadi."

Melodi mendelik lalu memukul lengan atas Arka dengan botol minum yang dipegangnya. "Lo mau mati? Kalo lo sampe nyeret gue kayak tadi, gue kutuk lo jadi dakjal!"

"Emangnya kenapa? Kok, lo marah gue seret sama megang kaki lo? Kaki lo enggak bagus-bangus juga."

Melodi menghela napas kasar. Matanya menatap lurus ke depan. "Itu bikin gue inget. Dulu Mak Lampir lakuin hal itu juga ke gue. Gue diseret enggak kenal tempat. Kadang punggung sama kepala gue lecet sampai pitak."

Arka tercengang mendengarnya. Tidak menyangka jika hal seperti itu dialami oleh Melodi. "Terus kaki lo kenapa ada bekas luka?" tanya Arka.

Melodi mengangkat sedikit celana panjangnya. "Kaki ini sering dipukul pake rotan, sampai luka dan membekas."

Love in PsychiatricalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang