21. Cat Tembok atau Rambut

10.4K 1.3K 53
                                    

"Obat kaki!"

Tubuh Arka menengang begitu mendengar suara dan panggilan khas dari orang yang ia kenal, Melodi. Dengan cepat Arka membuka mata dan melihat sekali lagi nomer yang menghubunginya. Masih sama, tidak terdaftar dalam kontaknya.

"Melodi?" ujar Arka memastikan.

"Lama banget sih angkat telfonnya?" Melodi berujar ketus di seberang sana.

Arka mengela nafas. Ternyata benar itu Melodi. Ia hafal bagaimana suara gadis itu.
"Gue masih tidur. Lagian ngapain lo telfon gue pagi-pagi begini?"

"Lo tidur atau mati? Masa jam segini baru bangun?"

Arka melirik jam di nakasnya, sudah menunjukan pukul 8 pagi. Ia menggaruk kepala belakangnya. "Terserah gue lah."

"Dasar kebo."

Mata Arka berotasi. Ia menguap sekali. "Terus ada apa lo tiba-tiba nelfon gue?" tanya Arka langsung pada intinya.

"Beliin Odi cat."

Satu alis Arka terangkat, tidak paham dengan permintaan mendadak Melodi sekarang. "Cat apa? Gak usah aneh-aneh."

"Cat tembok. Pokoknya nanti kalo dateng lo harus bawa cat."

"Buat apaan? Lo mau cat kamar lo?" tanya Arka pada Melodi.

"JANGAN BANYAK TANYA. TINGGAL BELI APA SUSAHNYA, KEBO???!!!"

Arka menjauhkan ponselnya dari telinga ketika teriakan Melodi benar-benar berisiko membuat gendang telinga pecah. Ia mengusap telinganya yang tiba-tiba berdengung. "Enggak usah pake teriak, bisa?"

Suara sambungan yang terputus terdengar tak kala Arka hendak melayangkan petuahnya pada Melodi. Gadis itu memang selalu seenaknya. Menelfonnya tak terduga dan memutusnya sepihak dengan tak beretika.

Meski kesal dengan tingkah Melodi, bibir Arka tetap melengkung membentuk senyum kecil. Melodi sudah kembali seperti biasanya setelah seharian kemarin hanya murung akibat kejadian muntahnya.

Arka beranjak menuju kamar mandinya untuk menyegarkan tubuh. Hari ini ia masih tidak ada jadwal kuliah sehingga tujuannya kali ini hanya rumah sakit jiwa milik Ayahnya. Setelah menghabiskan waktu lima belas menit untuk membersihkan diri, Arka keluar dari kamarnya dengan pakaian yang sudah rapi. Ia berjalan menuju dapur.

"Kok sepi?" ucap Arka ketika yang ia dapati di dapur hanya Bi Ani, salah satu pembantu rumah tangga di keluarganya.

"Bapak sama Mas Deva udah berangkat, Mas Arka," sahut Bi Ani yang sedang mencuci piring.

Arka menengok jam dinding yanga ada di dekatnya. Sudah jam setengah sembilan, pantas saja Ayah dan kakaknya sudah berangkat bekerja. Arka duduk di bangku ruang makan. "Bunda mana?" tanyanya begitu tidak mendapati Elina juga.

Bi Ani berjalan mendekat setelah pekerjaan mencuci piring selesai. "Bu Elina lagi enggak enak badan kata Bapak. Dari pagi juga gak keluar kamar."

"Mas Arka mau sarapan apa? Biar Bibi buatin," ujar Bi Ani melanjutkan.

"Nasi goreng aja, Bi. Arka mau mau ke kamar Bunda dulu," balas Arka sembari beranjak dari duduknya.

***

Kaki panjang Arka melangkah menuju kamar sang Bunda yang berada di lantai bawah. Elina sakit, pantas saja tirai di kamar Arka masih tertutup hingga ia selesai mandi. Elina memang memiliki kebiasaan membuka tirai di kamar Arka maupun Deva lalu membangunkan putra-putranya.

Arka memutar kenop pintu, kepalanya menyembul ke dalam kamar. "Bun?" panggil Arka.

Dengan tidak menunggu jawaban, segera Arka masuk ke dalam. Ia duduk di bibir ranjang dan menatap Elina yang memajamkan mata. "Bun," panggil Arka pelan. Tangannya menyentuh pipi Elina yang menghangat.

Love in PsychiatricalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang