"Ma hujannya tambah deras," ucap Melodi kecil pada Febina yang kini tengah menaikkan selimut untuk mereka. Melodi kecil gelisah karena hujan yang semakin lebat juga berisiko menimbulkan petir yang dahsyat pula.
Febina memeluk tubuh Melodi kecil. Mengusap-usap lengannya perlahan. "Melodi jangan takut, kan ada Mama Papa," ucap Febina.
"Tapi petirnya nyeremin," ujar Melodi kecil. Tepat setelah gadis itu menyelesaikan kalimatnya, suara petir menyambar terdengar. Melodi kecil dengan refleks langsung memeluk Febina erat. Menyembunyikan kepalanya dalam dekapan wanita itu.
"Mama, Melodi takut." Melodi kecil berucap lirih. Cengkramannya pada baju Febina semakin menguat.
Tangan Febina mengusap-usap punggug Melodi kecil, berusaha menenangkannya. Beberapa saat setelahnya usapannya berubah menjadi tepukan pelan.
"Melodi tidur ya? Mama Papa di sini jagain kamu, jangan takut."Suara petir kembali terdengar, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Hal itu membuat Melodi kecil terlonjak kaget, tak lama kemudian ia menangis keras karena ketakutan.
"Mama..." Melodi kecil memeluk erat Febina. Air matanya mengalir deras sedang isakannya juga terdengar keras.
"Ssst! Jangan nangis sayang," kata Febina masih berusaha menenangkan Melodi kecil.
"Melodi takut, Mama. Petirnya serem," ucap Melodi di sela tangisnya.
"Iya Mama tau. Kamu tidur ya, biar gak takut lagi," balas Febina pada Melodi kecil. Ia semakin mendekap putri kecilnya untuk menyalurkan perasaan aman dari dirinya.
"Melodi gak bisa tidur kalo masih ada petir." Melodi semakin menangis karena petir yang masih terdengar menyambar-nyambar.
Edi mengulurkan tangan untuk menutup telinga Melodi kecil. Kemudian ia berujar, "Papa tutup telinga Melodi biar gak bisa denger petir. Tidur ya, sayang."
Perlahan tangis Melodi mereda. Karena tindakan Edi, Melodi kecil tidak mendengar suara petir lagi. Perasaan aman dan nyaman mulai menjalar dalam diri Melodi kecil, hingga kemudian matanya terpejam menuju alam mimpi.
Duar!!!
Melodi terlonjak kanget bersamaan dengan kedua matanya yang terbuka. Nafasnya memburu. Suara petir yang keras membuat Melodi terbangun dengan cepat. Dengan debaran jantungnya yang meningkat, Melodi menatap ke kanan dan kiri. Kosong. Tidak ada Mama dan Papanya. Yang ia temukan hanya guling yang permukaannya terasa dingin.
Rupanya, tadi ia hanya bermimpi masa lalunya yang kembali datang. Mengusik dan mengacaukan pertahanan Melodi hingga kini ia kembali merasakan rindu. Rindu yang tak akan pernah bisa diobati.
Suara petir yang kembali terdengar membuat Melodi kaget bukan main. Ia meringkuk dengan bersandar pada sandaran tempat tidur. Meremat kuat-kuat selimutnya yang hanya menutupi setengah tubuhnya.
"Mama..." lirih Melodi. Bibirnya bergetar sementara bola matanya terus bergerak gelisah. Ia ketakutan namun ia hanya seorang diri. Tidak ada Febina yang akan menenangkannya, membuatnya merasa aman, atau hanya sekedar memeluknya.
Melodi menyembunyikan wajahnya di antara kakinya yang terlipat saat suara petir lagi-lagi datang. Kedua tangannya memeluk kaki. Tubuhnya semakin tremor ketika suara petir lagi-lagi datang.
"Mama, Melodi takut," ucap Melodi pelan. Air mata ketakutan sudah tidak bisa ia halau di pelupuk matanya. Isakan kecil mulai terdengar.
"Mama, Melodi takut petir," ujarnya lagi dengan lirih. Melodi ingin mengadu atas ketakutannya malam ini, namun pada siapa? Febina tidak ada di sisinya, begitupun dengan Edi. Melodi hanya sendiri. Di kamarnya yang semakin sunyi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in Psychiatrical
Chick-Lit[ TAMAT | PROSES REVISI ] "Lo itu cewek paling sinting yang pernah gue temui dan kewarasan lo adalah kegilaan yang selalu gue cari sampai mati." Kebiasaan buruk menghambur-hamburkan uang membuat seorang Arkana Elfreda mendapat hukuman dari sang aya...